Pelaksanaan ujian nasional tampaknya tak pernah sepi dari masalah. Tahun ini, muncul banyak keluhan dari peserta ujian nasional, sebagian terbaca di media sosial. Keluhan siswa sekolah menengah atas itu menyasar banyak hal mendasar dalam pendidikan nasional yang belum tuntas dibenahi.
Para siswa itu pada umumnya mengeluhkan ujian bahasa Inggris dan matematika. Mereka kesulitan memahami soal cerita dalam ujian bahasa Inggris karena selama ini lebih banyak belajar kosakata dan tata bahasa. Tingkat kesulitan matematika pun jauh dari bayangan mereka.
Keluhannya cukup merata, termasuk dari para siswa yang merasa telah belajar serius, misalnya dengan ikut bimbingan belajar, les tambahan, atau simulasi (try out) ujian. Bukan tidak mungkin, yang diajarkan di sekolah selama ini memang jauh di bawah materi yang diujikan.
Penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh mengindikasikan hal itu. Ketika mengunjungi satu sekolah di Jakarta pada hari pertama ujian nasional, Nuh mengatakan tahun ini ujian nasional memasukkan soal bertaraf dunia, dengan standar Programme for International Student Assessments dan Trends in International Mathematics and Science Study.
Kementerian Pendidikan sah-sah saja jika ingin membandingkan kemampuan siswa Indonesia dengan siswa negara lain. Klaim sukses pendidikan di satu negara memang perlu dibandingkan dengan standar dunia. Tapi hal itu terasa seperti hendak gagah-gagahan belaka.
Kementerian Pendidikan tak boleh lupa bahwa ujian nasional tak semata-mata untuk mengukur dan memetakan kompetensi siswa. Kementerian telanjur menjadikan ujian nasional sebagai penentu kelulusan sekolah dan, belakangan, juga menjadi salah satu pertimbangan kelulusan seleksi masuk perguruan tinggi.
Sungguh tak bijak memberikan soal ujian berlevel internasional bagi murid yang sistem belajarnya belum terstandardisasi. Juga masih ada kesenjangan dalam fasilitas belajar, kemampuan guru, dan murid. Sekolah yang mampu mengadopsi soal internasional itu bisa dihitung dengan jari.
Apalah artinya jika niat mulia Kementerian Pendidikan itu justru bisa berdampak buruk bagi kelangsungan pendidikan mereka. Mereka bukan hanya bisa gagal lulus, melainkan juga tak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pilihannya.
Pemerintah seharusnya juga tak menganggap sepi putusan kasasi Mahkamah Agung pada 2009 atas gugatan Tim Advokasi Korban Ujian Nasional. Mahkamah melarang pelaksanaan ujian nasional sebelum pemerintah berhasil meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap dan merata di semua daerah.
Agar tak dianggap mengabaikan putusan pengadilan, pemerintah bisa saja menggelar "ujian akhir" dengan target yang dimodifikasi. Seperti dipraktekkan di banyak negara, sasaran ujian akhir itu hanya untuk mengukur kompetensi siswa setelah menempuh jenjang pendidikan tertentu.
Hasilnya pun tak perlu dikaitkan dengan kelulusan. Cukup sebagai bahan untuk mengevaluasi kebijakan nasional di sektor pendidikan.
Pada saat yang sama, pemerintah bergegas memperbaiki mutu pendidikan di seluruh Indonesia. ***