Saya coba mengingat lagi New York 11 September 2001, pagi, satu setengah jam sebelum Menara Kembar di World Trade Center diserang. Saya duduk di sebuah kursi di sebuah taman kecil tak jauh dari Penn Station, minum kopi dari gelas kertas, sendirian, memandang ke jalan.
Hari baru saja menyingsing kerja, tapi telah terdengar suara seorang penginjil kaki lima yang menyeru, di seberang sebuah hotel, lewat pengeras suara: "Ke mana Anda akan tinggal di alam barzakh?"
Sekian puluh menit kemudian kota pun guncang. Dua pesawat ditabrakkan ke dua gedung tinggi tak jauh dari Wall Street. Ledakan dahsyat menyusul. Menara Kembar itu runtuh bergantian. Sekitar 3.000 orang terbakar, tertimbun gedung, terlontar dari pucuk, atau dalam keadaan ketakutan, meloncat sekian ratus meter ke bawah. Hancur. Kekejaman itu seakan-akan mencemooh bahwa hidup bukan apa-apa. Para teroris itu seakan-akan berseru, "Ayo, mati ramai-ramai!"
Tapi benarkah hidup cuma seperti sebuah gerak jalan anak-anakberbaris santai dari titik A ke titik B, kemudian bubar? Sang penginjil di tepi jalan itu menjanjikan keabadian. Para pembajak, yang pagi itu siap mati sebagai syuhada, membayangkan firdaus. Di kaki lima dan di angkasa mereka semua meyakini "alam barzakh". Hidup seakan-akan ditampik. Tapi barangkali ada yang keliru di sini. Hidup tak ditampik. Hanya ada sesuatu yang Mutlak yang bisa mengabaikannya.
Hanya yang Mutlak dan rasa benci yang menegaskan paradoks itu: hidup harus dihancurkan karena ia begitu berharga. Hanya yang Mutlak dan rasa benci juga yang bisa membuat kehidupan jadi dua kubu yang pasti: kita dan mereka. Dan kata itulah yang disebut banyak orang Amerika setelah 11 September 2001: "Kenapa mereka membenci kami?"
Sebuah pertanyaan yang wajarmeskipun yang dipersoalkan bukan benci. Sebagaimana yang mungkin berkecamuk di kepala para teroris, yang dipersoalkan adalah mereka dan kami. Fokus perhatian tak diarahkan untuk mencari jawab kenapa kini kebencian berkecamuk di pelbagai bagian dunia. Yang jadi obsesi adalah merumuskan posisi kami dan mereka, mengutarakan keistimewaan kami dan keanehan mereka.
Patriotisme memang sering seperti api lilin di dalam tong: terang, tapi terkurung. Di Gedung Putih dan Pentagon orang tak melihat bahwa rasa benci dan teror bukan hanya diderita orang Amerika. Bahkan ratusan orang asing, terutama Pakistan, yang jadi buruh di World Trade Center, tewas pada tanggal 11 September yang mengerikan itu. Kata kami hari itu seharusnya berlaku bagi siapa saja, di bagian dunia mana saja, tempat orang-orang yang tak bersalah dibunuh untuk pernyataan politik. Kata mereka juga tak seharusnya hanya terbatas kepada yang asing, yang di luar tapal batas dan tak mengibarkan Bintang-Garis.
Tapi ini memang sebuah masa nasionalisme yang patologis dalam sejarah Amerika. Di Gedung Putih dan di Pentagon, dan juga di pelbagai negara bagian, orang kian menebarkan perseteruan kami dan merekadan sebuah benteng raksasa pun ditegakkan, pintu gerbangnya dijaga ketat, dan menara pengintainya dibangun canggih. Tak selamanya itu berhubungan dengan kesiagaan anti-teror.
Clyde Prestowitz, dalam Rogue Nation, sebuah buku yang menguliti tendensi AS hari ini untuk menutup diri dari dunia, mendaftar perilaku pemerintah Bush. Dengan melihat diri begitu kuat untuk berdiri sendirian di atas bumi, AS pun menjadikan PBB sasaran olok-olok. Bahkan sebelum Perang Irak dilancarkan tanpa mengindahkan organisasi bangsa-bangsa itu, pelbagai perjanjian internasional sebenarnya sudah dijauhitermasuk Konvensi Pengaturan Senjata Kimia, Konvensi Anti-Penyiksaan Tahanan, dan Konvensi Internasional Hak Anak. Dan kita semua tahu AS tak hendak mengakui Mahkamah Pidana Internasional yang disepakati negara-negara Eropa.
Kita memang bisa memandang semua itu sebagai campur baur antara paranoia dan ketakaburan. Tapi mungkin ada sesuatu yang lain dalam postur inipostur yang diwakili oleh kaum Kristen Kanan yang kini amat berpengaruh. Prestowitz mengutip kata-kata Herman Melville, pengarang Moby Dick dari abad ke-19: "Kita orang Amerika adalah Bangsa Terpilih yang Khasbangsa Israel pada zaman ini."
Bahasa Melville adalah bahasa Alkitab. Dalam kata-kata itu terkandung sebuah "janji" yang akan dipenuhi oleh Tuhan, janji tentang sebuah tanah yang kaya susu dan madu dan sebuah kota yang bersinar di atas bukit. Mungkin semacam surga, tak jauh dari yang dibayangkan sang pengkhotbah di tepi jalan Kota New York.
Saya ingat Regis Debray, ketika cendekiawan terkemuka Prancis itu membandingkan Eropa dan Amerika. Terbentuk oleh tradisi Puritanisme Kristen, kata Debray, AS adalah "sandera dari sebuah moralitas suci". AS memandang diri ditakdirkan untuk jadi wadah Kebaikan, dengan misi untuk menghancurkan Kedurjanaan. "Percaya kepada Petunjuk Allah," tulis Debray pula, "Amerika menjalankan sebuah politik yang pada dasarnya bersifat teologis." Dan kuno.
Eropa telah melalui yang kuno itu. Ia telah mengalami buruknya perang yang memakai "moralitas suci" dan mengikuti "Petunjuk Allah" berabad-abad yang lalu. Ia telah menanggungkan sengketa yang berdasarkan keyakinan absolut, juga dalam Naziisme dan Komunisme. Eropa, kata Debray, "telah selesai menangisi hilangnya yang Mutlak". Bagi Eropa, planet ini terlampau kompleks untuk diterangkan dengan sebuah "logika monoteistik yang biner"hitam atau putih, mulia atau durjana, kawan atau lawan.
Saya mencoba mengingat New York 11 September 2001: sang penginjil, para teroris, imbauan surga, bendera-bendera yang nasionalistik, kami dan mereka, hitam dan putih.
Goenawan Mohamad