Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun 15 instalasi pengolah limbah domestik sampai 2050 perlu didukung kendati sudah amat terlambat. Sampai saat ini Ibu Kota hanya memiliki satu zona pengolah limbah rumah tangga. Ini jelas tidak cukup buat menampung limbah dari sekitar 9 juta penduduk.
Kelalaian pemerintah daerah mengantisipasi melonjaknya volume air buangan limbah ini harus dibayar mahal. Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat tak kurang dari 80 persen air tanah dangkal dan air permukaan di Jakarta kini sudah tercemar bakteri E. coli. Persentase sebaran bakteri penyebab diare setinggi itu amat mengkhawatirkan.
Satu zona instalasi pengolah limbah domestik untuk megapolitan sebesar Jakarta hanya bisa melayani 4 persen dari total buangan air limbah yang dihasilkan warga setiap hari. Angka ini jauh lebih rendah dibanding di kota-kota lain di Asia Tenggara. Di Kuala Lumpur, misalnya, lebih dari 90 persen limbah sudah dibuang lewat jaringan pipa pengolahan. Bahkan Bangkok, yang kepadatan penduduk dan tingkat kesemrawutannya sering disetarakan dengan Jakarta, sudah memiliki jaringan pipa pengolah untuk 40 persen buangan air kotornya.
Amat memprihatinkan mendengar pernyataan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Andi Baso Mappapoleonro. Ketika ditanya ihwal keterlambatan pembangunan instalasi pengolahan air limbah ini, ia mengatakan, "Kami lupa." Menurut Andi, selama ini pemerintah daerah terlampau berkonsentrasi menyelesaikan persoalan kemacetan dan banjir, serta lalai mengurusi air limbah. Jawaban Direktur Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah Yudi Indardo lebih membuat miris. "Jepang saja butuh 100 tahun," katanya, seolah meminta permakluman.
Jawaban semacam itu menunjukkan pejabat DKI tidak punya sense of crisis. Ketiadaan instalasi pengolahan limbah rumah tangga tidak hanya mencemari air di permukaan. Dalam jangka panjang, hal ini juga bisa merusak kualitas air tanah. Jika semua sumber air bersih di Jakarta tercemar limbah yang tak terolah optimal, ledakan epidemi tinggal menunggu waktu saja.
Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman banyak kota besar di negara maju. Pengolahan sampah dan limbah rumah tangga merupakan prioritas begitu populasi kota mulai bertambah. Tanpa hal itu, kota akan kumuh, kotor, dan jadi sumber penyakit.
Jakarta tidak bisa dibiarkan meraksasa tanpa cetak biru pengembangan yang komprehensif. Pejabat DKI tidak boleh mengaku lupa mempersiapkan infrastruktur dan berbagai fasilitas umum yang penting untuk warga. Praktek keliru yang selama ini terjadi tak boleh berlanjut karena akan membuat kota ini kurang layak huni.
Pemerintah pusat tentu tidak bisa lepas tangan. Mereka wajib mengingatkan aparatur pemerintah daerah yang tak punya cetak biru rencana pengembangan kota. Jakarta, sebagai kota terbesar di Indonesia, seharusnya menjadi contoh buat kota-kota besar lainnya.