Setelah jadi corong partai politik selama pemilihan legislatif yang lalu, kini banyak televisi mulai tak netral menjelang pemilihan presiden. Keadaan ini amat memprihatinkan karena siaran televisi berperan besar mempengaruhi pilihan masyarakat. Sikap memihak bukan hanya merusak dunia pertelevisian, melainkan juga akan membunuh demokrasi.
Pemihakan itu terjadi setelah pemilik stasiun televisi terang-terangan menyokong salah satu calon presiden. Lihat saja bagaimana Metro TV, stasiun televisi yang dimiliki Surya Paloh, lebih kerap menayangkan berita dan iklan tentang calon presiden Joko Widodo alias Jokowi. Kebetulan Surya, yang juga Ketua Umum Partai NasDem, menyokong pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Sebaliknya, TV One dan ANTV--dimiliki Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie--terlihat lebih berpihak kepada pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Orang tahu, Golkar secara resmi mendukung pasangan ini. Perhatikan juga RCTI dan MNCTV, yang dimiliki Hary Tanoesoedibjo. Kubu Prabowo-Hatta beruntung lantaran Hary menyokongnya.
Hasil pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia dari awal hingga pertengahan Mei menggambarkan pemihakan itu. ANTV, misalnya, menayangkan 60 berita tentang Prabowo dan 8 berita mengenai Jokowi. Sementara itu, Metro TV memberitakan Jokowi 62 kali dan Prabowo 22 kali. Dalam periode yang sama, ada 96 spot iklan calon presiden Joko Widodo di Metro TV.
Siaran yang tidak adil menunjukkan betapa berbahaya bila televisi dikuasai segelintir orang. Reformasi dunia pertelevisian seolah lebih banyak mendatangkan mudarat. Frekuensi milik publik sebetulnya bisa saja dikelola oleh swasta asalkan diawasi secara ketat. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Penyiaran jelas disebutkan bahwa siaran televisi wajib memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab.
Persoalan muncul lantaran tak ada lembaga yang merasa bertanggung jawab mengawasi tayangan politik. KPI lebih sering mengurusi sinetron. Badan Pengawas Pemilihan Umum pun merasa wewenangnya terbatas karena hanya mengurusi hal yang berkaitan dengan kampanye. Padahal sebagian siaran itu bukan dalam konteks kampanye resmi.
Itu sebabnya, upaya KPI membentuk Gugus Tugas Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye perlu disokong. Gugus ini beranggotakan empat lembaga, yakni KPI, Komisi Pemilihan Umum, Bawaslu, dan Komisi Informasi Pusat. Dengan adanya sinergi ini diharapkan mereka bisa mengawasi secara maksimal siaran yang tak berimbang menjelang pemilihan presiden.
Bukan hanya pengawasan yang perlu ditingkatkan, melainkan juga sanksinya. Undang-Undang Penyiaran mesti direvisi agar memuat sanksi yang berat bagi stasiun televisi yang menjadi corong partai atau calon presiden. Tanpa perubahan sanksi, KPI hanya bisa memberi teguran atau paling berat menutup suatu program--hal yang sama sekali tak menimbulkan efek jera.