Intoleransi dan militansi itu ibarat kanker. Kita tidak bisa membiarkannya lalu berharap kelak akan tumpas dengan sendirinya. Penyerangan terhadap umat Katolik yang sedang beribadah di Sleman, Yogyakarta, Kamis lalu, adalah bukti kesekian bahwa pembiaran-baik oleh aparat keamanan maupun masyarakat-terhadap tindakan intoleran telah membuat kanker itu menjalar ke mana-mana. Kekerasan semacam ini terjadi hampir setiap hari, di sini, di negeri yang konstitusinya menjunjung kebinekaan.
Kamis lalu, sekelompok orang beringas-mengaku dari organisasi Islam-menyerang jemaat Santo Fransiscus Agung Gereja Banteng. Mereka sedang beribadah di rumah Julius Felicianus, di Kecamatan Ngaglik, Sleman. Julius dikeroyok hingga kepalanya terluka dan tulang punggungnya retak. Anggota jemaat lain pun dianiaya. Ada yang dipukuli dengan kayu dan besi, bahkan ada yang disetrum. Seorang wartawan yang meliput juga dipukul.
Ini bukan pertama kalinya keberingasan mengatasnamakan agama terjadi di Yogyakarta. Masih di bulan Mei, kejadian serupa terjadi di Gunungkidul, Yogyakarta. Saat itu sekelompok orang menutup sebuah gereja dan menganiaya aktivis lintas agama. Laporan The Wahid Institute menyebutkan, praktek intoleransi sepanjang 2013 terhadap kelompok agama minoritas-seperti Ahmadiyah, Kristen, dan mereka yang dituduh sesat-ada 245 kasus. Artinya, hampir setiap hari kelompok minoritas diserang.
Sebenarnya, konstitusi ataupun undang-undang sudah memberi jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Juga ada banyak pasal pidana yang bisa ditimpakan kepada para penyerang. Namun sangat sedikit kasus begini yang dibawa ke pengadilan. Polisi sepertinya tidak mau repot menyeret pelaku, mungkin khawatir menimbulkan gelombang penolakan yang besar.
Kita harus selalu mendorong aparat hukum untuk menangkap pelaku dan melindungi kelompok yang lemah, tapi kita tidak dapat hanya menggantungkan harapan pada mereka. Masalah utamanya ada dalam masyarakat sendiri. Meski kita meyakini lebih banyak kelompok mayoritas menolak aksi intoleran tersebut, tak banyak yang mau menyatakannya dengan tegas. Kelompok-kelompok mayoritas ini lebih banyak diam karena tak mau repot dan khawatir dituding membela kelompok di luar kelompoknya.
Sikap diam itu berakibat buruk. Kelompok militan yang bersuara lantang semakin mendapat panggung. Kita seolah memberi mimbar kepada pemuka agama Islam yang intoleran. Pengaruh mereka pun kian besar. Dan, seperti kanker, intoleransi itu kian menggerogoti masyarakat, karena sebagian besar kita memilih membiarkannya.
Itu sebabnya, tindakan memerangi intoleransi dan membela kebinekaan tidak bisa diserahkan hanya kepada pemerintah. Harus ada pembangkitan kesadaran di kalangan masyarakat agar penolakan terhadap kemilitanan dilakukan lebih nyata. Kelompok mayoritas, yang selama ini mengatakan hanya sebagian kecil di antara mereka yang melakukan tindakan intoleran, harus membuktikan dengan menggalang kampanye penolakan yang lebih besar.
Jika hanya diam, kita berarti sengaja membiarkan kebinekaan digerogoti.