Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Infeksi

Oleh

image-gnews
Iklan

Ada sebuah infeksi, bernama kekerasan. Umurnya panjang.

Ia mungkin telah lama di kesadaran kita, datang dari adegan perang Bharata ketika Bima bukan saja membunuh Dursasana, tapi juga mereguk darah bangsawan Kurawa yang dulu mencoba memerkosa Drupadi itu. Atau dari Perjanjian Lama, ketika berlaku doktrin "satu mata dibalas satu mata". Atau dari dendam Electra yang getir dalam lakon Sophocles dan Euripides pada zaman Yunani kuno. Atau apa yang dialami Eropa pada abad ke-17: orang Katolik dan Protestan saling membunuh selama 30 tahun. Atau sejarah Islam, setelah Khalif kedua dibunuh, kemudian Khalif berikutnya, dan berikutnya?.

Sampai abad ke-21 ini, infeksi itu terus bercabul: Israel, Palestina, Irak, Chechen, Rusia, Amerika?. Koreng luka itu berjangkit beserta kumannya. Kekerasan menular?dengan penularan yang dikemas "atas-nama-keadilan".

Tapi jika kekerasan yang satu diulangi yang lain, apa yang harus dilakukan? Jawabnya mungkin sebuah kekerasan lagi. Setidaknya jika kita percaya kepada teori Rene Girard. Pada zaman dulu orang menyembelih korban. Dengan memungut seseorang lain untuk dipersembahkan kepada dewa, orang pun percaya, kata Girard, bahwa "perdamaian yang mukjizat" akan tiba.

Untuk mengukuhkan teori itu adat orang Aztecs sering dipakai sebagai contoh. Sebuah ensiklopedia mencatat bahwa sebelum abad ke-16, bangsa tua di Meksiko itu membunuh sampai 20 ribu manusia setahun sebagai persembahan bagi Dewa Matahari. Ini bukan pembantaian massal. Orang yang pernah menyaksikannya bercerita bahwa upacara itu tertib: sang korban?seorang yang tak bersalah, konon juga perawan sunti?digiring ke pucuk piramid, dibaringkan, dadanya dirobek, dan jantungnya direnggutkan. Lalu sebotol minyak bakar diletakkan di rongga dada yang menganga itu, dan di situ api dinyalakan. Dari nyala itu disulutlah sebuah suluh, yang kemudian menyulut obor yang lain, dan yang lain, sambung-menyambung ke seluruh wilayah.

Saya tak sepenuhnya yakin akan teori Girard yang meringkas sejarah manusia sebagai digerakkan oleh "hasrat mimetik" atau dorongan meniru. Saya juga ragu benarkah agar balas-membalas berhenti sebuah masyarakat perlu sebuah "mekanisme kambing hitam", dengan membuat pihak yang tak bersalah dan/atau lemah sebagai domba sembelihan. Tapi agaknya jelas bahwa siapa pun yang ngeri menyaksikan infeksi itu menjalar akan harus menyetopnya. Kalau perlu dengan menyelubunginya.

Pengadilan adalah sebuah metode untuk itu. Lembaga ini mengambil alih kehendak membalas dendam dari pihak yang dicederai. Tapi dengan sesuatu yang berbeda: di lembaga itu pembalasan tak lagi dilakukan oleh pihak yang pernah jadi korban. Hukuman akan jatuh, mungkin seseorang akan digantung, tapi pihak yang jadi pesakitan diharapkan tak akan lagi menghantam balik. Sebab sang hakimlah yang memutuskan, sang hakim yang dianggap "di luar dan atas" konflik. Pada saat itu, mana yang adil dan tak adil ditentukan oleh ukuran yang dianggap telah diterima umum, baik oleh yang menghantam maupun oleh yang dihantam.

Tapi bagaimana ukuran "keadilan" itu disusun? Bagaimana disekap 4 tahun dalam penjara merupakan balasan yang setimpal untuk, misalnya, perbuatan "X" yang mencederai saya dengan pukulan karate? Mungkinkah rasa sakit hati "Y" dapat diimbangi dengan denda Rp 250 ribu?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada akhirnya undang-undang memang harus selalu mengakui kegagalannya sendiri dalam memenuhi niat. Niat itu keadilan, namun keadilan mustahil mendapatkan bentuk yang pasti. Undang-undang selamanya berisi kekuatan yang hanya mencoba. Sebagaimana sebuah puisi tak bisa disimpulkan dengan bentuk parafrase dalam prosa, begitu juga rasa sakit hati, rasa kehilangan, dan rasa kepedihan fisik: hal-hal yang diderita seorang korban itu tak mungkin secara memadai disepadankan dengan angka tahun dan jumlah rupiah.

Dilihat demikian, lembaga peradilan adalah sebuah harapan dan juga sebuah kemustahilan, meskipun kemustahilan itu diperlukan. Ia juga sebuah hasil paksaan halus. Paksaan itu bertujuan agar peran dan bobot dirinya diterima dan diyakini orang pada umumnya bahwa pengadilanlah wilayah yang terbebas dari kepentingan sepihak.

Tentu saja di sini tampak ia adalah bagian "aparat ideologi" Negara, jika kita pakai kategorisasi Althusser: pengadilan bukan alat penggebuk seperti polisi dan tentara, tapi ia juga berperan mengendalikan agar kehidupan sosial, biarpun cacat dan rapuh, tetap utuh.

"Utuh" itu juga sebuah kemustahilan, sebetulnya. Pada zaman ketika masyarakat (atau "bangsa" atau "rakyat") dibicarakan sebagai sebuah Gestalt, sebuah bentuk utuh, kita sering alpa bahwa tiap bentuk menegakkan batas, dan ada anasir yang rontok. Maka pada zaman ini pula para pemikir teori politik?Giorgio Agamben, Chantal Mouffe, dan lain-lain yang ada dalam kesadaran "dekonstruksi"?tampak amat peka memandang ke posisi mereka yang dilumpuhkan. Bagi Mouffe, antagonisme tak pernah lepas dari "the political". Bagi Agamben, bentuk asali hubungan politik adalah "pelarangan". Tiap kota berdiri dan pagar dibangun, selalu akan ada pengungsi, orang buangan, homo sacer yang bisa dengan mudah disingkirkan.

Indonesia punya sejarah dengan horor dan homo sacer itu: pembantaian manusia pada tahun 1965-66 dan pembunuhan "penembak misterius" pada akhir tahun 1980-an. Sejarah kita tak semulus Singapura atau Pondok Indah. Tapi justru karena itu kita bisa lebih bisa mengerti bahwa "keutuhan", "konsensus", dan "rekonsiliasi" (atau "konsiliasi", kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) tak selamanya berlangsung karena nalar yang mampu melahirkan argumen yang baik. Di tiap momen mufakat, ada selalu latar yang gelap dan bayangan yang bisa memukau, dan infeksi yang tersembunyi.

Kemudian bagaimana kita menerima ini: bahwa melalui luka dan dosa, demokrasi bisa dewasa.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

46 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

51 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.