Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Radikalisme Sektarian

image-profil

image-gnews
Iklan

Seno Gumira Ajidarma,
Wartawan

Pada hari ini, di negeri ini, dalam konteks masa kini, di manakah tempatnya ideologi dalam pengertian sempit yang dapat dirumuskan sebagai radikalisme sektarian?

Radikalisme tercatat sebagai kecenderungan untuk mendorong pandangan dan tindakan politik menuju titik ekstrem. Asosiasi radikalisme adalah selalu ketidakpuasan terhadap status quo dan suatu seruan bagi perubahan sosial-politik. Namun makna kata radikalisme dalam perbedaan waktu dan tempat telah selalu berubah, mulai dari yang moderat sampai yang pada umumnya kekiri-kirian, meski tak jarang sangat kanan seperti fasisme dan naziisme. Istilah ini juga digunakan secara luas sebagai disposisi untuk menantang pandangan mapan dalam setiap usaha keras manusia, termasuk dalam kesenian dan kesarjanaan (Labedz dalam Bullock & Trombley, 1999: 722-3).

Secara historis, setidaknya sejak kata ini terhubungkan dengan konteks politik Inggris pada 1689 dalam perkara Penyelesaian Konstitusional (Constitutional Settlement), tujuan kaum Radikal adalah menegaskan kembali keyakinan atas "semangat sejati", dan menemukan dasar bagi kemandirian politik wakil-wakil rakyat. Dalam radikalisme selalu terkandung pemikiran yang menentang stratifikasi khalayak yang telah dianggap baku.

Mengacu kepada konsep semacam itu, tampaknya konotasi radikalisme baik-baik saja alias positif dan produktif sebagai ideologi kritis. Radikalisme dalam konteks Eropa abad ke-18, misalnya, Rousseau termasuk yang menegaskan betapa hak politik itu melekat bersama kelahiran manusia dan bahwa hak politik seseorang itu tak dapat ditarik kembali (Wangerman dalam Riff, 1995: 252-3).

Nah, jadi radikalisme macam apakah yang-layak-diberi konotasi negatif? Bagaimana dengan radikalisme sektarian? Adapun sektarian adalah kata sifat dari istilah sekte, yang digunakan untuk menjelaskan kelompok sosial eksklusif, yang bergerak di sekitar seorang pemimpin agama atau politik. Batas-batas biasanya jelas dan memisahkan mereka yang anggota atau yang bukan anggota. Keanggotaan adalah sukarela, tapi biasanya pula melibatkan komitmen total terhadap sektenya. Jika mengacu ke pengembangan istilah ini oleh Troeltsch (1865-1923) dalam kajiannya tentang kekristenan, sekte menghadirkan kembali ketersesatan, oposisi, dan penolakan dalam kontras terhadap otoritas yang resmi (Grimshaw dalam Bullock & Trombley, 1999: 778).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menggabungkan pemikiran Rousseau yang positif dan Troeltsch yang negatif, dalam ketersesatannya kelompok radikal sektarian ini memiliki hak hidup, sehingga tak bisa "dibubarkan" karena keterbentukannya bukanlah ditentukan oleh pendaftaran, melainkan oleh kebutuhan bersama dalam ekspresi politik. Dalam hal ini, segenap gerakan maupun manuvernya yang terhubungkan dengan pemahaman politik identitas dapatlah diperiksa, yakni apa sajakah yang dilakukannya ketika menunjukkan kepada dunia siapakah diri mereka itu sebenarnya.

Dengan pengamatan, pemeriksaan, pembongkaran, pengkajian, dan pengungkapan kritis atas politik maupun proyek identitasnya, berlakulah prosedur yang memberi peluang berkeadilan: apakah dengan segala hak hidupnya itu, suatu kelompok radikal sektarian layak mendapat tempat untuk hidup, atau sebaiknya membubarkan diri sahaja.

Perilaku yang paling perlu diperiksa tentu perilakunya yang paling ekstrem: apakah radikalismenya merupakan proyek antikemapanan yang produktif, karena lantas mengembangkan lingkungan sosial-politiknya; ataukah merupakan proyek antikemapanan yang bukan hanya nonproduktif, tapi juga menjadi sumber kanker sosial-politik yang sangat potensial dalam penggerogotan hidup kebangsaan.

Adapun jika barang jualannya itu, antara lain, adalah rasisme, baiklah ditengok pula apakah rasisme itu: rasisme adalah suatu kebijakan terlembagakan, atas prasangka dan diskriminasi yang terarah kepada minoritas, melalui karakterisasi warna dan berbagai bentuk yang semestinyalah berbeda dengan kelompok-kelompok yang lebih berkuasa dan mapan. Apa yang disebut prasangka itu memburu sasaran yang bervariasi atas dasar stereotip sahaja dalam dalih prasangka atas ras, kelompok etnik, gender, dan juga agama. Patut disesalkan, sepanjang sejarah kehidupan manusia, perlawanan terhadap ideologi rasis hanya mengalami sangat sedikit kemajuan (Saunders dalam O'Sullivan et.al, 1994: 241, 256).

Sampai berapa lama kebodohan itu dibiarkan tetap berkeliaran? Di Indonesia, prasangka sudah lebih dari cukup dalam menimbulkan korban, mulai dari diskriminasi sosial-politik sampai pemerkosaan dan pembunuhan massal. Membiarkan kemungkinan itu hidup dan berkembang adalah langkah pertama menuju kehancuran. Itulah sebabnya, segenap penanda dan pembermaknaan radikalisme sektarian ini harus diungkapkan, demi tumbuhnya kesadaran generasi masa depan. *

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


6 Tuntutan Aksi Mahasiswa Mei 1998, Reformasi Sudah Selesai?

12 Mei 2023

Ribuan mahasiswa menduduki Gedung MPR/DPR saat unjuk rasa menuntut Soeharto mundur sebagai Presiden RI, Jakarta, Mei 1998. Selain menuntut diturunkannya Soeharto dari Presiden, Mahasiswa juga menuntut turunkan harga sembako, dan cabut dwifungsi ABRI. TEMPO/Rully Kesuma
6 Tuntutan Aksi Mahasiswa Mei 1998, Reformasi Sudah Selesai?

Para mahasiswa pada aksi unjuk rasa Mei 1998 menyuarakan 6 tuntutan dalam reformasi. Apakah hari ini sudah selesai?


Kesepakatan dengan IMF Alot, Presiden Kais Saied Sebut Tunisia Bukan untuk Dijual

8 April 2023

Kais Saied, Presiden Tunisia. Sumber : Reuters
Kesepakatan dengan IMF Alot, Presiden Kais Saied Sebut Tunisia Bukan untuk Dijual

Presiden Saied menolak pemaksaan lebih jauh dari IMF karena bisa mengarah pada kemiskinan yang lebih lanjut di Tunisia.


Peru Terperosok ke Krisis Politik, Unjuk Rasa Berubah Jadi Kerusuhan

14 Desember 2022

Polisi menghadapi pengunjuk rasa yang memprotes untuk menuntut pembubaran Kongres dan mengadakan pemilihan demokratis daripada mengakui Dina Boluarte sebagai Presiden Peru, setelah penggulingan Presiden Peru Pedro Castillo, di Lima, Peru, 12 Desember 2022. REUTERS/Sebastian Castaneda
Peru Terperosok ke Krisis Politik, Unjuk Rasa Berubah Jadi Kerusuhan

Setidaknya tujuh orang tewas dalam unjuk rasa di Peru akhir pekan lalu saat aksi protes berubah menjadi kerusuhan.


Krisis Politik di Myanmar Jadi Sorotan di Pertemuan AMM

5 Agustus 2021

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi  saat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken di Departemen Luar Negeri di Washington, AS, Selasa, 3 Agustus 2021. Pertemuan tersebut membahas berbagai isu strategis antara Amerika Serikat dan Indonesia. Jose Luis Magana/Pool via REUTERS
Krisis Politik di Myanmar Jadi Sorotan di Pertemuan AMM

Menteri Luar Negeri RI secara terbuka menyebut isu Myanmar menjadi masalah yang paling banyak di bahas di pertemuan AMM


Netanyahu Perkenalkan Kabinet Baru ke Parlemen Israel

18 Mei 2020

Benny Gantz dan Benjamin Netanyahu.[Times of Israel]
Netanyahu Perkenalkan Kabinet Baru ke Parlemen Israel

PM Netanyahu dan rival politik Benny Gantz membentuk koalisi pemerintahan baru bersatu untuk mengakhiri konflik politik berkepanjangan.


Krisis Turki, Bagaimana Dampaknya Terhadap Pasar Modal Indonesia?

13 Agustus 2018

Ilustrasi perang dagang Amerika Serikat dan Turki. Gmfus.org
Krisis Turki, Bagaimana Dampaknya Terhadap Pasar Modal Indonesia?

Risiko sistemik dikhawatirkan akan mengakibatkan krisis Turki mempengaruhi IHSG.


Perludem Sebut Anak Muda Masih Jadi Penonton Politik

25 Maret 2018

Ilustrasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) bertema unik. TEMPO/Gunawan Wicaksono
Perludem Sebut Anak Muda Masih Jadi Penonton Politik

Perludem pun menilai sistem politik yang ada di Indonesia tak ramah bagi anak muda sehingga mereka sulit terjun di dunia politik.


Jokowi: 6 Bulan Terakhir Kita Buang-buang Energi Tidak Berguna

23 Mei 2017

Presiden Jokowi menyaksikan Latihan Gabungan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) 2017 di Tanjung Datuk, Natuna, Kepulauan Riau, 19 Mei 2017. Puspen TNI
Jokowi: 6 Bulan Terakhir Kita Buang-buang Energi Tidak Berguna

Presiden Jokowi mengatakan, 6-8 bulan ini, energi dihabiskan untuk banyak hal tidak berguna, saling hujat, berdebat, dan membuat suhu politik memanas.


SBY: Jika Hanya Pentingkan Stabilitas Politik, Hati-hati  

8 Februari 2017

Ketum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY memberi salam seusai menyampaikan pidato politik pada Rapimnas dan Dies Natalies Partai Demokrat ke-15 di JCC, Jakarta, 7 Februari 2017. TEMPO/Dhemas Reviyanto
SBY: Jika Hanya Pentingkan Stabilitas Politik, Hati-hati  

SBY mengatakan pemerintah harus berhati-hati jika negara hanya menekankan aspek stabilitas politik.


Analis Politik: Situasi Memanas, Jokowi Harus Lakukan Ini  

2 Februari 2017

Presiden Jokowi memakai headset sambil mendengarkan pernyataan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe dalam pertemuan ASEAN Plus Jepang di Vientiane, Laos, 7 September 2016. AP/Bullit Marquez
Analis Politik: Situasi Memanas, Jokowi Harus Lakukan Ini  

Pertarungan Joko Widodo adalah kepada siapa saja yang berdiri di seberang kepentingan negara dan bangsa.