Liberalisme terguncang hari ini. Pemilihan umum 2004 Amerika Serikat menghukumnya, dan mungkin sebuah zaman baru di ambang pintu.
Bertahun-tahun lamanya orang Amerika hidup dalam sebuah tata yang bertolak dari anggapan bahwa, dalam sebuah negeri, hak adalah sesuatu yang tak dapat ditanggalkan. Hak itu dianggap telah lebih dulu ada, dan harus ada, sebelum keputusan nilai tentang apa yang "baik" dan "buruk", "patriotik" atau "tak patriotik", "dosa" atau "bersih", "pro-Yesus" atau "anti-Yesus".
Kini pandangan yang mengutamakan "hak" itu memang patut cemas. Seorang presiden telah menang dengan dukungan gemuruh gerakan Evangelis Kristen. Tak berarti sendi liberalisme tumbang. Konstitusi Amerika, yang mengadopsi beberapa pokok pemikiran liberal, punya mithosnya sendiri. Ia tak mudah untuk dirombak, kecuali bila suara "Kristen kanan" yang menakutkan itu menguasai seluruh perdebatan publik.
Tapi cukup tanda bahwa, setelah November 2004, hak seseorang dapat dicopot karena ada keputusan nilai tentang "baik" dan "buruk", "dosa" dan "tak dosa". Dan mudah diketahui, keputusan itu bukan sesuatu yang universal. Ia hanya sebuah konsensus si mayoritas yang tak mendengarkan suara yang lain. Ia bahkan hanya menimbulkan sebuah soal besar: keadilan.
Keadilan jadi penting, sebab tiap masyarakat terdiri dari anasir yang beraneka, juga nilai-nilainya. Di tahun 1960-an, di Amerika Serikat yang menindas mereka, orang-orang Hitam bergerak. Mereka selama berabad-abad bisu dan tak tampak, tapi sejak itu hadir dan bicara. Orang Amerika pun sadar bahwa sebuah negeri akan dirasuki racunnya sendiri bila di tubuhnya ada orang-orang yang tersembunyi dan tertindas: sekelompok yang berpendapat lain, orang-orang yang tengah tak berdaya untuk berbeda sikap.
Sebab itulah bagi liberalisme?yang kian marak sejak itu?keadilan bukan sekadar salah satu di antara sederet nilai. Keadilan adalah nilai yang utama. Dalam kata-kata John Stuart Mill, pemikir liberalisme abad ke-19, keadilan adalah "bagian pokok? bagian yang paling suci dan mengikat, dari semua moralitas".
Keadilan itu terkait erat dengan kehendak merawat hak orang seorang. Amerika didirikan dengan keyakinan bahwa hak itu berasal dari Tuhan. Atau, bagi pemikiran yang disebut oleh Michael Sandel sebagai "liberalisme deontologis", hak itu ada bersama laku manusia ketika ia merdeka. Liberalisme ini?yang dimulai dari Kant di abad ke-18?menganggap kemerdekaan manusia tampak ketika manusia mampu jadi "subyek pengalaman," bukan semata-mata "obyek pengalaman", ketika ia dapat melampaui keadaan empiris yang membentuknya dan mengatasi "mekanisme alam" dalam dirinya.
Kehadiran "subyek" itu kian dipertegas dalam sejarah politik. Revolusi meledak di mana-mana, dan "hamba" jadi "warga", dan tiap kekuasaan manusia di atas manusia dipandang dengan syak. Sejak itu, untuk memakai kata-kata Ronald Dworkin, seorang pemikir liberal terkemuka dewasa ini, hak berperan "sebagai kartu truf yang dipegang individu-individu". Akan gagal sebuah pemerintahan, kata Dworkin, "bila? lebih menyukai satu konsepsi ketimbang konsepsi lain, baik karena para pejabat menganggap konsepsi itu secara intrinsik lebih unggul, atau karena ia didukung oleh kelompok yang lebih banyak dan lebih kuat".
Dari sini kita tahu kenapa Dworkin menentang keras pilihan untuk membiarkan Presiden Bush berkuasa kembali. Sebagaimana ditulisnya dalam The New York Review of Books menjelang pemilihan presiden, November. 2004, ia memperkirakan Bush akan mendesak agar Konstitusi diubah. Nilai-nilai kaum Evangelis Kristen akan jadi dasar hukum yang mengatur pernikahan, penelitian ilmiah, bahkan politik luar negeri.
Bagi Dworkin, yang memasygulkan bukanlah baik atau buruknya pengaruh itu, melainkan telah terancamnya sebuah Amerika yang menampung segala suara, sebuah negeri yang inklusif dan berdasar keadilan.
Tapi ada yang tampaknya tak terpecahkan oleh para pemikir liberalisme. Dari mana datangnya "keadilan"?
Bila ia jatuh dari langit, atau dari "subyek transendental", bukankah ia selalu keadilan yang "mengejawantah", yang diungkapkan di sebuah negeri, oleh sejumlah manusia, di sebuah masa, sehingga pengalaman manusia ikut menyemai dan membentuknya? Bagaimana mungkin sebuah pemerintah, juga sebuah masyarakat, dapat merumuskan "keadilan" tanpa dipengaruhi pengalaman hidup masyarakat itu, juga perimbangan kekuatan yang ada dalam tubuhnya?
Liberalisme akan sulit menjawab ini. Maka sulit pula ia menghadapi pertikaian nilai moral, nilai yang mungkin tak datang dari langit, tapi dihayati bukan sebagai konflik kepentingan yang dapat dirundingkan dalam proses penyelesaian praktis di bumi. Kaum Evangelis Kristen, misalnya, menampik pernikahan antar-orang gay, tapi kaum homoseksual menggugat: jika pernikahan dianggap sesuatu yang bagus, kenapa mereka tak boleh menjalaninya? Kaum Evangelis menghendaki pemerintah AS mendukung tindakan Ariel Sharon terhadap orang Palestina; bagi mereka itu sesuai dengan ramalan Al-Kitab. Tapi orang lain menilai ketidak-adilan itu mengancam perdamaian. Bagaimana liberalisme menghadapi konflik macam itu?yang berangkat dari dua dunia yang berbeda, dan bertujuan ke hidup yang berbeda?
Ketika "nilai moral" justru jadi sumber ketegangan sosial Amerika, liberalisme pun oleng. Tampaknya memang ada kelemahan liberalisme. Ia menganggap "keadilan" nilai utama, tapi ia melihatnya sebagai sesuatu yang telah ada dan selesai. Tapi bagaimana mungkin? "Keadilan" itu seperti kolong: ia "ada" tapi ia "tak ada". Ia ada karena merupakan lawan dari ketidak-adilan, tapi maknanya belum terisi, meskipun terasa meluap-luap. Sebuah "penanda yang kosong", kata Laclau.
Perjuangan politik yang tak henti-hentinya menunjukkan bahwa "keadilan" meminta untuk tak dibiarkan hampa?dan demikianlah sejarah terjadi.
Goenawan Mohamad