Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Liberalisme

Oleh

image-gnews
Iklan

Liberalisme terguncang hari ini. Pemilihan umum 2004 Amerika Serikat menghukumnya, dan mungkin sebuah zaman baru di ambang pintu.

Bertahun-tahun lamanya orang Amerika hidup dalam sebuah tata yang bertolak dari anggapan bahwa, dalam sebuah negeri, hak adalah sesuatu yang tak dapat ditanggalkan. Hak itu dianggap telah lebih dulu ada, dan harus ada, sebelum keputusan nilai tentang apa yang "baik" dan "buruk", "patriotik" atau "tak patriotik", "dosa" atau "bersih", "pro-Yesus" atau "anti-Yesus".

Kini pandangan yang mengutamakan "hak" itu memang patut cemas. Seorang presiden telah menang dengan dukungan gemuruh gerakan Evangelis Kristen. Tak berarti sendi liberalisme tumbang. Konstitusi Amerika, yang mengadopsi beberapa pokok pemikiran liberal, punya mithosnya sendiri. Ia tak mudah untuk dirombak, kecuali bila suara "Kristen kanan" yang menakutkan itu menguasai seluruh perdebatan publik.

Tapi cukup tanda bahwa, setelah November 2004, hak seseorang dapat dicopot karena ada keputusan nilai tentang "baik" dan "buruk", "dosa" dan "tak dosa". Dan mudah diketahui, keputusan itu bukan sesuatu yang universal. Ia hanya sebuah konsensus si mayoritas yang tak mendengarkan suara yang lain. Ia bahkan hanya menimbulkan sebuah soal besar: keadilan.

Keadilan jadi penting, sebab tiap masyarakat terdiri dari anasir yang beraneka, juga nilai-nilainya. Di tahun 1960-an, di Amerika Serikat yang menindas mereka, orang-orang Hitam bergerak. Mereka selama berabad-abad bisu dan tak tampak, tapi sejak itu hadir dan bicara. Orang Amerika pun sadar bahwa sebuah negeri akan dirasuki racunnya sendiri bila di tubuhnya ada orang-orang yang tersembunyi dan tertindas: sekelompok yang berpendapat lain, orang-orang yang tengah tak berdaya untuk berbeda sikap.

Sebab itulah bagi liberalisme?yang kian marak sejak itu?keadilan bukan sekadar salah satu di antara sederet nilai. Keadilan adalah nilai yang utama. Dalam kata-kata John Stuart Mill, pemikir liberalisme abad ke-19, keadilan adalah "bagian pokok? bagian yang paling suci dan mengikat, dari semua moralitas".

Keadilan itu terkait erat dengan kehendak merawat hak orang seorang. Amerika didirikan dengan keyakinan bahwa hak itu berasal dari Tuhan. Atau, bagi pemikiran yang disebut oleh Michael Sandel sebagai "liberalisme deontologis", hak itu ada bersama laku manusia ketika ia merdeka. Liberalisme ini?yang dimulai dari Kant di abad ke-18?menganggap kemerdekaan manusia tampak ketika manusia mampu jadi "subyek pengalaman," bukan semata-mata "obyek pengalaman", ketika ia dapat melampaui keadaan empiris yang membentuknya dan mengatasi "mekanisme alam" dalam dirinya.

Kehadiran "subyek" itu kian dipertegas dalam sejarah politik. Revolusi meledak di mana-mana, dan "hamba" jadi "warga", dan tiap kekuasaan manusia di atas manusia dipandang dengan syak. Sejak itu, untuk memakai kata-kata Ronald Dworkin, seorang pemikir liberal terkemuka dewasa ini, hak berperan "sebagai kartu truf yang dipegang individu-individu". Akan gagal sebuah pemerintahan, kata Dworkin, "bila? lebih menyukai satu konsepsi ketimbang konsepsi lain, baik karena para pejabat menganggap konsepsi itu secara intrinsik lebih unggul, atau karena ia didukung oleh kelompok yang lebih banyak dan lebih kuat".

Dari sini kita tahu kenapa Dworkin menentang keras pilihan untuk membiarkan Presiden Bush berkuasa kembali. Sebagaimana ditulisnya dalam The New York Review of Books menjelang pemilihan presiden, November. 2004, ia memperkirakan Bush akan mendesak agar Konstitusi diubah. Nilai-nilai kaum Evangelis Kristen akan jadi dasar hukum yang mengatur pernikahan, penelitian ilmiah, bahkan politik luar negeri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagi Dworkin, yang memasygulkan bukanlah baik atau buruknya pengaruh itu, melainkan telah terancamnya sebuah Amerika yang menampung segala suara, sebuah negeri yang inklusif dan berdasar keadilan.

Tapi ada yang tampaknya tak terpecahkan oleh para pemikir liberalisme. Dari mana datangnya "keadilan"?

Bila ia jatuh dari langit, atau dari "subyek transendental", bukankah ia selalu keadilan yang "mengejawantah", yang diungkapkan di sebuah negeri, oleh sejumlah manusia, di sebuah masa, sehingga pengalaman manusia ikut menyemai dan membentuknya? Bagaimana mungkin sebuah pemerintah, juga sebuah masyarakat, dapat merumuskan "keadilan" tanpa dipengaruhi pengalaman hidup masyarakat itu, juga perimbangan kekuatan yang ada dalam tubuhnya?

Liberalisme akan sulit menjawab ini. Maka sulit pula ia menghadapi pertikaian nilai moral, nilai yang mungkin tak datang dari langit, tapi dihayati bukan sebagai konflik kepentingan yang dapat dirundingkan dalam proses penyelesaian praktis di bumi. Kaum Evangelis Kristen, misalnya, menampik pernikahan antar-orang gay, tapi kaum homoseksual menggugat: jika pernikahan dianggap sesuatu yang bagus, kenapa mereka tak boleh menjalaninya? Kaum Evangelis menghendaki pemerintah AS mendukung tindakan Ariel Sharon terhadap orang Palestina; bagi mereka itu sesuai dengan ramalan Al-Kitab. Tapi orang lain menilai ketidak-adilan itu mengancam perdamaian. Bagaimana liberalisme menghadapi konflik macam itu?yang berangkat dari dua dunia yang berbeda, dan bertujuan ke hidup yang berbeda?

Ketika "nilai moral" justru jadi sumber ketegangan sosial Amerika, liberalisme pun oleng. Tampaknya memang ada kelemahan liberalisme. Ia menganggap "keadilan" nilai utama, tapi ia melihatnya sebagai sesuatu yang telah ada dan selesai. Tapi bagaimana mungkin? "Keadilan" itu seperti kolong: ia "ada" tapi ia "tak ada". Ia ada karena merupakan lawan dari ketidak-adilan, tapi maknanya belum terisi, meskipun terasa meluap-luap. Sebuah "penanda yang kosong", kata Laclau.

Perjuangan politik yang tak henti-hentinya menunjukkan bahwa "keadilan" meminta untuk tak dibiarkan hampa?dan demikianlah sejarah terjadi.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

46 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

51 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.