Denny Sakrie, pengamat musik
Guruh Gipsy adalah proyek eksperimen musik rock dan gamelan Bali yang menghabiskan waktu penggarapan album sekitar 2 tahun pada 1975-1977. Dana produksi rekaman ini jelas tak kepalang tanggung. Proyek idealis ini mampu berjalan dengan lancar, karena memperoleh dana dari berbagai kalangan pengusaha papan atas saat itu, seperti Pontjo Sutowo, Hasjim Ning, dan Taufik Kiemas. Eksperimen musik semacam itu memang tak mungkin dibiayai oleh label rekaman yang berorientasi bisnis semata. Album Guruh Gipsy memang terwujud karena dukungan dana oleh sejumlah pengusaha tadi.
Menurut saya, inilah penggalangan dana untuk seni populer pertama di Indonesia, jauh sebelum kita mengenal sebuah platform yang dikenal sebagai crowdfunding-istilah yang diperkenalkan Michael Sullivan pada 2006, yang menggagas penggalangan dana terhadap proyek videoblog.
Cikal-bakal crowdfunding sebetulnya telah dimulai oleh fan loyal grup musik progresif Inggris, Marillion, yang mengumpulkan dana melalui Internet untuk membiayai tur Marillion di Amerika Serikat dengan nama "Tour Fund". Basis penggemar Marillion akhirnya mengumpulkan sekitar US$ 60.000 pada 1997 tanpa melibatkan manajemen band tersebut. Selanjutnya, Marillion melakukan crowdfunding untuk empat album dalam kurun 2001-2012.
Contoh lain adalah Electric Eel Shock, band rock Jepang yang berhasil mengumpulkan dana sebesar 10 ribu pound sterling dari 100 penggemarnya untuk keanggotaan eksklusif pada 2004. Bahkan, grup ini kemudian tercatat sebagai grup musik yang tercepat menggalang dana sebesar US$ 50 ribu.
Cara pengumpulan dana daring mulai berkembang di Amerika dengan munculnya ArtistShare pada 2003, yang kemudian diikuti dengan munculnya sederet crowdfunding daring seperti Chipin (2005), EquityNet (2005), Pledge (2006), Sellaband (2006), IndieGoGo (2008), GiveForward (2008), Fundrazr (2009), KickStarter (2009), Fundly (2009), GoFundMe (2010), Microventures (2010), dan Fundageek (2011). Kini, secara global, sejak 2012 telah berkembang sebanyak lebih dari 450 platform crowdfunding.
ArtistShare menampilkan contoh produk crowfunding yang berhasil meraih Grammy Award pada 2005 tanpa merilis albumnya di gerai-gerai musik umum, yaitu album Concert In The Garden karya pianis jazz Maria Schneider. Album Maria Schneider ini betul-betul didanai oleh penggemarnya sendiri.
Gagasan ini hampir sama dengan yang dilakukan Komunitas LKers, wadah penggemar pemusik folk Indonesia Leo Kristi. Mereka menggalang dana untuk pembiayaan album baru Leo Kristi bertajuk Hitam Putih Orche (2014), yang diluncurkan 1 November lalu tanpa didistribusikan di gerai musik biasa.
Sebelum itu, tercatat beberapa grup musik Indonesia yang telah melakukan penggalangan dana, yaitu kelompok Pandai Besi dengan album Daur Baur (2013) serta band rock BIP (Jakarta) dan Navicula (Bali).
Kepedulian penggemar terhadap artis atau kelompok musik yang mereka idolakan dalam bentuk crowdfunding ini bukan hanya sebuah fenomena, tapi juga sebuah solusi dalam mengatasi problematika industri musik-yang digerogoti pembajakan dan lain-lain.