Ali Nur Sahid, Peneliti PUSAD Paramadina (Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina)
Baru-baru ini Amnesty International mengeluarkan laporan tentang sejumlah orang yang diadili karena dianggap menodai agama di Indonesia (21/11/14). Dalam laporan tersebut, sejak 2005 terdapat 160 orang yang dijerat Undang-Undang Penodaan Agama. Kebanyakan mereka berasal dari kelompok minoritas keagamaan atau kelompok yang dianggap menyimpang dari ajaran agama yang diakui secara resmi oleh pemerintah.
Penyelesaian situasi ini harus menjadi agenda penting Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin yang sedang menyiapkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama. Laporan Amnesty, satu-satunya yang berkaitan dengan isu agama tersebut, patut dijadikan perhatian serius karena beberapa pertimbangan. Pertama, situasi ini berbanding lurus dengan tingginya tingkat intoleransi masyarakat di beberapa wilayah yang terdapat kelompok agama minoritas, seperti Syiah di Sampang.
Kedua, di sejumlah penampungan sementara, mereka yang terusir dari kampungnya, seperti di Lombok dan Syiah di Sidoarjo, masih harus menanggung beban terkatung-katung tanpa kepastian sampai kapan harus menetap di pengungsian. Inilah praktek menjerat keyakinan lewat undang-undang yang berlangsung sampai hari ini. Dasar hukumnya? Pada 1965, Soekarno mengesahkan Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama-yang dilanjutkan oleh Presiden Soeharto pada 1969 menjadi Undang-Undang Nomor 5/1969.
Banyak kasus dari tindakan pemidanaan yang beralasan mereka dianggap telah menodai agama dengan merujuk penetapan presiden tersebut. Belakangan bahkan beleid ini menginspirasi pembuatan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE Nomor 11/2008).
Secara subtansi, ketentuan ini bisa menjerat individu di berbagai pelosok wilayah. Ekspresi damai kepercayaan seseorang yang dianggap menyimpang bisa berujung penjara. Penerapannya seperti pasal karet yang bisa menghabisi keyakinan siapa saja. Contoh, Alexander Aan yang dipenjara karena dituduh menjalankan ateisme-yang dinyatakan di Facebook. Alasan yang kerap dituduhkan adalah "mengganggu ketertiban umum" atau mengakibatkan "ketidakharmonisan di antara umat".
Mengadili keyakinan itu abstrak. Suatu pandangan agama atau keyakinan itu boleh-boleh saja. Yang dapat diadili adalah manifestasi dari keyakinan seseorang yang dianggap melanggar HAM. Seperti disebutkan dalam ICCPR (International Convenant on Civil and Political Rights), yang sudah diratifikasi pemerintah Indonesia, tentang pembatasan kebebasan berekspresi, pengurungan dapat dilakukan di antaranya jika mengganggu kesehatan, atau mengancam keselamatan orang lain. ICCPR melindungi hak individu atau sekelompok orang, namun tidak melindungi entitas abstrak seperti agama, kepercayaan, ide, atau simbol.
Praktek kriminalisasi keyakinan harus diakhiri. Kondisi yang harus ditangani saat ini adalah maraknya syiar kebencian (hate speech) yang menghasut seseorang untuk memusuhi dan mendiskriminasi sang liyan berbasis kebangsaan, rasial, maupun keagamaan yang mengarah ke tindak kekerasan. Presiden Jokowi pernah mengalami hal itu saat maraknya kampanye hitam berbasis SARA pada pemilu lalu. Saatnya Jokowi membuktikan bahwa dia menghormati HAM. *