Kasus penculikan aktivis pada 1998 sungguh merupakan sejarah terkelam dalam dunia hukum kita. Sudah empat presiden menangani perkara ini. Jaksa Agung dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga sudah berganti beberapa kali, tapi kasus pelanggaran HAM berat ini masih jauh dari selesai.
Pekan lalu, melalui surat terbuka kepada calon presiden-wakil presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, para mantan aktivis korban penculikan kembali menggantungkan harapan untuk menuntaskan kasus ini. Mereka yakin, hanya Jokowi-Kalla yang akan mampu menangani kasus ini. Masih ada 13 aktivis prodemokrasi yang hilang.
Kasus ini sebetulnya sudah lama ditangani. Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia--kini Tentara Nasional Indonesia--sudah membentuk Dewan Kehormatan Perwira untuk menangani kasus ini. Hasilnya, sejumlah perwira dihukum. Letjen TNI Prabowo--kini kandidat Presiden Republik Indonesia 2014-2019--diberhentikan karena dianggap bertanggung jawab atas penculikan tersebut.
Komnas Hak Asasi Manusia juga sudah membentuk tim untuk menyelidiki kasus ini. Hasilnya, ada fakta pelanggaran HAM berat. Komnas juga sudah menyerahkan hasil penyelidikannya kepada Kejaksaan Agung. Berkali-kali Komnas HAM menyempurnakan hasil penyelidikannya, tapi tetap tidak ada tindak lanjutnya.
Dewan Perwakilan Rakyat juga berperan menghambat penyelesaian kasus ini. Panitia Khusus Orang Hilang memang melahirkan empat rekomendasi, antara lain pembentukan pengadilan HAM dan pencarian 13 aktivis yang masih hilang. Tapi, dalam rapat paripurna, DPR gagal meloloskan rekomendasi tersebut melalui voting. Akibatnya, rekomendasi itu mentok di tingkat Pansus.
Celakanya, Kejaksaan Agung juga berkukuh hanya mau menangani kasus ini jika ada rekomendasi dari DPR. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga akhirnya tidak membentuk pengadilan khusus ini. Kasus ini pun mandek sejak rekomendasi diberikan Pansus pada September 2009.
Sungguh disayangkan, akibat tidak tuntasnya penyelesaian kasus ini, masih banyak pertanyaan yang menggantung. Siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab atas penghilangan paksa para aktivis prodemokrasi itu? Prabowo jelas menyebutkan bahwa atasannyalah yang memerintahkan dirinya menangani para aktivis yang dinilai membahayakan keamanan negara. Tapi hingga detik ini tak jelas siapa atasan yang dimaksudkan: Panglima ABRI atau Presiden Soeharto.
Selama 16 tahun, keluarga aktivis juga menunggu kejelasan nasib buah hati mereka. Bekas Kepala Staf Kostrad Kivlan Zen mengaku tahu di mana mereka ditembak dan dibuang. Semestinya, pernyataan Kivlan dapat dijadikan pijakan untuk menuntaskan kasus ini. Tapi Kivlan menolak panggilan Komnas HAM dan hanya bersedia dipanggil dalam sidang pengadilan HAM.
Keputusasaan itulah yang mendorong mereka datang ke Jokowi. Mereka tentu tidak akan datang ke Prabowo sebagai salah satu orang yang disebut bertanggung jawab atas penculikan tersebut. Jika terpilih kelak, Jokowi sebaiknya tidak melupakan surat para mantan aktivis tersebut.