Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus memastikan pemilihan presiden yang kini memasuki tahap penghitungan suara berakhir dengan mulus. Suhu politik yang memanas-dipicu oleh klaim kemenangan pemilu berdasarkan hasil quick count yang sama-sama dilakukan oleh kedua pasangan-tak terjadi bila sejak awal pemerintah mampu menjadi wasit yang baik.
Langkah Presiden mengundang setiap pasangan calon ke kediamannya di Cikeas, Bogor, cukup bagus. Presiden Yudhoyono menyeru kedua kubu yang bertarung-pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla-agar menahan diri. Cara ini setidaknya bisa meredam gesekan di kalangan para pendukung hingga penghitungan suara selesai.
Masalahnya, lebih dari sekadar urusan klaim kemenangan, kedua kubu saling mencurigai adanya kecurangan atau praktek politik menghalalkan segala cara. Pertarungan tak sehat sudah terasa saat kampanye hingga menjelang hari pencoblosan. Keadaan ini semakin buruk karena sikap Komisi Pemilihan Umum terkesan lunak. Begitu pula Badan Pengawas Pemilu. Tak ada tindakan tegas terhadap serangkaian pelanggaran yang terjadi selama kampanye.
Pemerintah pun terlihat setengah hati menindak pelanggaran yang berkaitan dengan pemilu. Contohnya kasus kampanye hitam yang menghantam pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dilakukan Obor Rakyat. Terbitan berkedok produk jurnalistik ini berisi fitnah. Polisi amat lamban dalam mengusut kasus itu. Setelah pengelolanya ditetapkan sebagai tersangka, terbitan ini masih saja beredar luas.
Ketidaksiapan pemerintah menggelar pemilihan di luar negeri juga memunculkan persoalan baru. Ratusan buruh migran di Hong Kong, misalnya, tidak bisa menggunakan hak pilih gara-gara tempat pemungutan suara ditutup sebelum semua calon pemilih mencoblos. Alasan bahwa jam izin tempat itu sudah habis terdengar masuk akal. Tapi orang juga bisa mempersoalkan kenapa penyelenggara pemungutan suara tidak menyediakan fasilitas dan petugas lebih banyak untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pemilih.
Kasus Hong Kong mencurigakan karena sebagian besar warga negara yang tidak bisa mencoblos itu merupakan pendukung pasangan Jokowi-Kalla. Pemerintah bisa dituding tidak hanya memihak salah satu pasangan, melainkan juga menghilangkan hak pilih rakyat. Dikhawatirkan pola serupa terjadi di tempat lain.
Presiden Yudhoyono mesti memisahkan kedudukannya sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara dari posisinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Sebagai ketua umum partai, boleh saja ia memihak salah satu pasangan calon. Tapi sikap ini, jika tak dilakukan secara hati-hati, akan mudah menimbulkan konflik kepentingan dengan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. Publik akan curiga bila penegak hukum dan aparat pemerintah terkesan tidak sigap mendukung pemilu yang bersih, adil, dan bebas dari kecurangan.
Presiden semestinya menjaga seluruh tahapan pemilu berlangsung secara jujur dan adil agar proses suksesi kekuasaan juga berjalan mulus.