Asalkan lewat voting tertutup, upaya mencari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat melalui pemilihan sebetulnya bagus. Dengan cara ini, tiap legislator bebas memilih Ketua DPR dan wakil-wakilnya-juga pimpinan komisi, badan anggaran, dan badan Dewan lain-tanpa didikte fraksi.
Meski tak mutlak, pemungutan suara-bukan lewat penunjukan seperti yang dilakukan selama ini-juga membuka peluang didapatkannya pemimpin DPR yang cakap dan luwes. Syukur-syukur bisa dipercaya. Metode lama mencari pimpinan DPR 2009-2014 membuat Marzuki Alie dari Partai Demokrat terpilih sebagai Ketua Dewan. Ia kerap dikritik karena mengeluarkan pernyataan tak patut.
Perubahan cara pemilihan pimpinan DPR terjadi melalui revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sebelumnya, perubahan aturan ini diprotes Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan partai lain yang menyokong calon presiden Joko Widodo alias Jokowi. Dengan aturan lama, berdasarkan hasil pemilu legislatif April lalu, Ketua DPR semestinya berasal dari PDIP. Adapun posisi empat Wakil Ketua DPR akan diisi pemenang pemilu urutan selanjutnya.
Aturan baru membuat PDIP mesti lihai bermain politik. Pemilu presiden membelah kekuatan menjadi dua: pendukung Jokowi dan Prabowo Subianto. Kekuatan partai pendukung Jokowi-terdiri atas PDIP, Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hanura, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia-bukan mayoritas. Mereka mendapat 37 persen kursi, sedangkan kubu lawan 63 persen. Dalam barisan Prabowo terdapat Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Bulan Bintang.
PDIP semula berharap undang-undang tersebut tidak berubah agar mereka bisa memimpin DPR. Meski bergabung dalam koalisi kecil, dengan mengetuai badan legislatif, partai itu berharap bisa mengawal kebijakan Jokowi-jika kelak terpilih menjadi presiden. Menghadapi oposisi dengan kekuatan lebih besar, kubu PDIP bisa kalah, misalnya, dalam voting penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Menduduki kursi pimpinan DPR sebetulnya bukan jaminan bagi suatu partai politik untuk memenangi pertarungan. Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono adalah contohnya. Didukung mayoritas partai di DPR, Demokrat pernah kalah dalam voting kasus Bank Century. Hal lain yang memainkan peranan dalam pergulatan di DPR: negosiasi.
Aspek inilah yang perlu diasah aliansi PDIP. Masih ada waktu pula untuk menarik sejumlah partai dari kubu lain. Koalisi temporer juga bisa dibangun sesuai dengan urusan yang sedang dibicarakan. Terhadap topik tertentu, misalnya, PDIP bisa saja merangkul Golkar. Pada topik yang lain, ia satu kubu dengan Partai Demokrat. Dalam fluiditas politik, yang dibutuhkan adalah kelincahan. Harus dikatakan, kemampuan inilah yang selama ini tak menonjol pada politikus partai banteng.