Anggota Dewan Perwakilan Rakyat bukannya berintrospeksi, melainkan malah membentengi diri. Lewat undang-undang yang mereka buat, kini politikus Senayan semakin sulit disentuh hukum. Pemeriksaan anggota Dewan oleh penegak hukum mesti mendapat izin dari Mahkamah Kehormatan-lembaga baru yang menggantikan Badan Kehormatan DPR.
Aturan itu tertuang dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3). Undang-undang yang belum lama disahkan ini menggantikan UU No. 27/2009 tentang MD3. Izin dari Mahkamah Kehormatan diperlukan untuk memeriksa anggota Dewan yang mendapat tuduhan pidana.
Keistimewaan anggota Dewan diatur dalam Pasal 224 mengenai hak impunitas. Pemanggilan penegak hukum terhadap anggota DPR yang dituduh melakukan tindak pidana berkaitan dengan pelaksanaan tugas harus seizin Mahkamah Kehormatan. Bila Mahkamah tidak mengizinkan, pemanggilan itu dianggap batal demi hukum.
Walau aturan tersebut berkaitan dengan pernyataan anggota DPR yang disampaikan di dalam maupun di luar sidang, kekebalan itu tetaplah berlebihan. Anggota Dewan akan cenderung bicara sembarangan dan bisa menyerang pihak lain, tanpa bisa dipidanakan. Aturan yang amat memproteksi politikus Senayan ini jelas tidak sesuai dengan prinsip persamaan warga negara di depan hukum yang digariskan oleh konstitusi. Inilah peluang bagi masyarakat untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas Undang-Undang MD3.
Peran Mahkamah Kehormatan juga bisa dipertanyakan. Alat kelengkapan DPR ini memiliki wewenang yang jauh lebih besar dibanding Badan Kehormatan. Tapi besarnya kekuasaan ini tidak diikuti upaya meningkatkan kredibilitas. Keanggotaannya mirip dengan Badan Kehormatan, yang selama ini mandul. Anggota Mahkamah Kehormatan merupakan perwakilan dari partai-partai di DPR tanpa melibatkan anggota dari luar.
Dengan keanggotaan seperti itu, sulit diharapkan Mahkamah Kehormatan akan berani bertindak tegas terhadap anggota DPR yang melanggar kode etik. Yang akan terjadi, Mahkamah itu akan cenderung menjadi benteng perlindungan anggota DPR dari sentuhan hukum. Dengan alasan politikus yang bermasalah sudah ditangani Mahkamah, penegak hukum tidak bisa lagi mengusutnya.
Penegak hukum yang ingin menyidik anggota DPR yang terlibat pidana pun kini harus mendapat izin Mahkamah Kehormatan, kecuali untuk kasus tertangkap tangan atau pidana khusus. Selama ini izin tersebut diberikan oleh presiden. Kendati prosedur ini hanya formalitas-bisa diabaikan bila selama 30 hari izin tersebut tidak diberikan--perubahan ini semakin menunjukkan besarnya kekuasaan DPR.
Tak sepantasnya anggota DPR membuat aturan yang semakin mengistimewakan dirinya sendiri. Itu sebabnya, penting untuk mengoreksi Undang-Undang MD3 lewat uji materi di Mahkamah Konstitusi, demi menjaga prinsip persamaan di depan hukum.