Keberhasilan Komisi Pemilihan Umum menggelar pemilihan presiden yang berlangsung relatif lancar patut dipuji. Tapi kini datang ujian terakhir, yakni menghitung perolehan suara. Publik masih menanti siapa pemenang resmi: pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa ataukah Joko Widodo-Jusuf Kalla? Diharapkan Komisi mampu bekerja cermat dan bebas dari tekanan siapa pun.
Harapan itu perlu disampaikan lantaran Komisi terkesan kurang percaya diri. Di tengah proses rekapitulasi suara, Ketua KPU Husni Kamil Manik menyatakan bahwa pemberi keputusan final pemenang pemilu bukan lembaganya, melainkan Mahkamah Konstitusi. Pernyataan ini tidaklah pantas diucapkan oleh seorang Ketua KPU.
Sikap Husni akan mengundang spekulasi bahwa hasil pemilu kali ini akan kacau sehingga harus dibawa ke MK. Padahal adalah tugas Komisi untuk menghitung secara akurat sehingga kedua pihak bisa menerima hasil pemilu. Harus diakui, tugas penghitungan suara kali ini cukup berat lantaran selisih suara penentu kemenangan diperkirakan kurang dari 5 persen. Tapi kedua kubu dan publik akan mau menerima apa pun hasilnya andai kata sejak awal KPU memperlihatkan cara kerja yang transparan.
Transparansi sebetulnya bisa dilakukan dengan cara mengadakan penghitungan sementara dan menyiarkannya setiap hari. Cara yang dulu pernah dilakukan ini bisa mengurangi rasa penasaran dan kecurigaan masyarakat. Apalagi Komisi telah menampung hasil pindai formulir C1--berisi hasil penghitungan di seluruh tempat pemungutan suara. Jika masyarakat bisa menggelar penghitungan sementara seperti ditayangkan di situs kawalpemilu.org, seharusnya KPU mampu pula melakukannya. Dengan adanya penyiaran hasil penghitungan sementara secara bertahap, niscaya publik akan sedikit tenang.
Peran sebagai peredam ketegangan itulah yang kurang dimainkan oleh pimpinan KPU. Lembaga ini belum mampu menjadi wasit yang baik di tengah pertarungan yang sengit antara kubu Prabowo dan Joko Widodo alias Jokowi sejak kampanye hingga sekarang. Kampanye yang seharusnya menjadi ajang untuk adu program dan membuka rekam jejak kandidat itu justru menjadi perang propaganda yang tak sehat.
Setelah pemungutan suara dilakukan, publik kemudian disuguhi polemik mengenai hasil hitung cepat. Sebagian politikus bahkan masih mempertanyakan hasil hitung cepat lembaga yang cukup kredibel, termasuk hitung cepat versi Radio Republik Indonesia. Padahal hitung cepat amat penting sebagai patokan terhadap hasil perolehan suara yang resmi sekaligus mencegah kecurangan. Jika hitung cepat yang dilakukan RRI masih disepelekan, orang tentu menjadi curiga: jangan-jangan ada upaya merekayasa hasil pemilu.
KPU mesti membuktikan bahwa kecurigaan itu tidak beralasan. Caranya tentu saja dengan melakukan penghitungan suara secara teliti. Para komisioner seharusnya optimistis bahwa hasil penghitungannya bisa diterima oleh kedua kubu dan tak perlu dipersengketakan di mahkamah.