Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Teror

Oleh

image-gnews
Iklan
Tuan, yang bukan Nabi Ibrahim. Coba bayangkan: pada suatu malam tuan dengar suara Tuhan di ruang yang sepi di mana tuan duduk dengan tenteram. Tuhan memerintahkan tuan untuk menyembelih anak tuan yang paling tuan sayangi. Tuan akan terkejut dengan lutut yang melemah. Tuan akan grogi. Tuan akan bertanya: mungkinkah itu suara Tuhan? Bagaimana Ia bisa menyuruh bunuh seorang anak yang tak bersalah hanya untuk membuktikan kepatuhan saya kepada-Nya? Nabi Ibrahim, lebih dari kita, menempuh apa yang disebut sebagai detachment? buah dari iman dan kedahsyatan. Pisau tajam itu melekat di leher si anak, tapi aku bukan lagi subyek yang bertindak. Tak ada rasa sakit, sedih, cinta, harapan, ketakutan, tak ada aku. Semuanya adalah titah-Mu. Sejenis bunuh diri yang sublim. Berkorban adalah peniadaan ganda. Meniadakan aku dan meniadakan apa yang bagian dari diri aku. Apa yang luar biasa dari cerita termasyhur ini bukanlah keajaiban Tuhan mengganti si anak, pada saat terakhir, dengan seekor domba. Apa yang luar biasa adalah bahwa kita jarang mengingat si bapak yang menangis, walau akhirnya berdiri dalam puncak detachment. -- proses bunuh diri yang sublim itu. Tiap agama mengagungkan proses yang seperti itu. Siti Masyitoh yang mati direndam dalam air yang mendidih, Santo Agustinus yang terbelenggu dengan tubuh dirajang anak panah, Urinara yang menanggungkan daging tubuhnya dipotong-potong untuk dimakan elang yang ganas, karena ia melindungi seekor burung yang lemah. Tak setiap orang dicatat sebagai syuhada, tentu, tapi semuanya membangun sejarah. Sejarah tumbuh dari pengorbanan yang paling bersahaja (misalnya menahan diri untuk tak mengonsumsikan seluruh harta) sampai dengan tindakan yang paling mengerikan: pendeta Aztec menyajikan nyawa seorang perawan di altar para dewa, Amerika mengerahkan dana dan tenaga untuk membangun bom atom dan memenangkan Perang Pasifik. Melakukan korban?menurut agama atau tidak?adalah hasil pemutusan sebuah bagian dari diri untuk mengikatkan diri menjadi bagian dari yang lain, yang lebih berarti. Maka setiap korban adalah sebuah pertukaran. Sama dengan uang kertas, korban (dalam bentuknya yang sangat sederhana bisa berupa sesaji) tak dihitung berdasarkan nilai bahannya?seekor kambing, setandan pisang, sekerat cerutu, serangkaian kembang setaman. Tetapi berbeda dengan uang di zaman modern, sesaji itu tak ditentukan oleh dua pihak yang melakukan transaksi. Pihak yang sana (yang Suci, yang Kuasa, yang Misterius) tak menawar. Mungkin tak ada pula pesaing. Juga tak ada kepastian bahwa pertukaran akan benar terjadi. Hari ini para nelayan nyadran ke laut, mempersembahkan sepotong kepala kerbau kepada dhayang di antara ombak. Tetapi esok ikan-ikan mungkin tetap tak tampak, taufan dan kematian bisa saja tetap datang. Pada awalnya adalah teror. Sesaji kepada yang mahagaib, pemberian kepada yang mahamendalangi, korban pencegah bencana di sawah dan sungai Bali, dewa-dewa yang bersemayam di ladang-ladang India, roh yang tak diberi nama serta luput di laut?sesaji kepada mereka itu semuanya berawal dari hidup yang selalu di tubir keguncangan. Itulah sebabnya berkorban jadi kehilangan sifat sakralnya ketika ketidakpastian digantikan dengan kepastian. Apa yang dialami Nabi Ibrahim memang tak mungkin terulang. Berabad-abad manusia mencoba menirukan momen pengorbanan yang mengerikan itu, tapi dalam banyak hal berkorban akhirnya sebuah siasat untuk menjinakkan apa yang gaib. Manusia ingin terlepas dari chaos, menang atas ketakutan dan kekacauan. Yang dilihat sebagai model pada peristiwa Nabi Ibrahim adalah sebuah kisah manusia yang unggul -- manusia penakluk diri, manusia yang lulus ujian -- dan bukan manusia yang menanggungkan nasib yang dahsyat. "Mengadakan korban", tulis Roberto Calasso, yang banyak berbicara tentang berkorban dalam La Ravina di Kasch (versi Inggrisnya: The Ruin of Kasch), adalah "sebuah strategi jangka-panjang untuk menghalau yang suci." Kesimpulan Calasso meragukan, tapi di hari ini strategi itu tampak berhasil. Kita hidup dalam tarikh burjuis, dengan korban, tapi korban itu tidak dipersembahkan kepada yang gaib dan suci. Korban itu dipersembahkan kepada kekuatan manusia sendiri. Hutan jadi pucat, bengawan dibendung, dan langit terjangkau. Yang gaib dan suci seperti mati, setidaknya dalam hipotesis. Terornya terkadang masih muncul, tapi tanpa tuah. Berkorban tak lagi disertai krisis yang akut, melainkan menawarkan sebuah substitusi dan sebuah "perdagangan". Yang kita berikan sebagai korban tak lagi punya sifat yang unik, lengkap dan tak tergantikan. Ia sudah diperlakukan sebagai sekadar alat penukar, menggantikan sebuah nilai yang bukan lagi nilainya sendiri. Ia seperti lembar uang kertas yang diberikan seorang penderma di sudut jalan kepada seorang pengemis. Hidup di dunia yang kehilangan pesona?dan disebut "modern"?adalah juga hidup yang kehilangan dalihnya untuk menjadi grogi. Modernitas mengasumsikan hidup bisa berkembang lurus, melintasi tepi, mengatasi kedahsyatan. Keselamatan tak didapat melalui persembahan korban, melainkan melalui ketaatan pada hukum, kepada fikih. Hukum adalah sebilah garis yang dingin, sebuah oposisi terhadap krisis. Dalam pandangan ini, korban adalah sesuatu yang bisa dianggap sama satu dengan yang lain. Yang penting dicatat ialah bahwa ada "korban" (sacrifice), dalam arti seperti domba-domba Idul Adha yang dipotong. Ada "korban" (victim), dalam arti akibat dari tindak yang destruktif. Kini kita membedakan kedua pengertian itu. Tapi pada awal dan akhirnya adalah kekerasan. Di zaman ketika yang suci, yang gaib dan yang menakutkan telah terhalau, hanya kekerasan itulah yang dianggap memenangkan manusia. Dalam kemenangan itu kita pun lupa bahwa setiap korban punya wajah, dan setiap wajah punya jejak lamat-lamat dari Yang Mahasuci yang menghilang. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Kapan Idul Fitri Pertama Kali Dilaksanakan? Begini Sejarahnya

13 hari lalu

Umat Muslim menghadiri salat Idul Fitri yang menandai akhir Ramadan, di kompleks Al-Aqsa, yang juga dikenal oleh orang Yahudi sebagai Temple Mount, di tengah konflik yang sedang berlangsung di Gaza antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, di Kota Tua Yerusalem, 10 April 2024. REUTERS/Ammar Awad
Kapan Idul Fitri Pertama Kali Dilaksanakan? Begini Sejarahnya

Imam Ibnu Katsir menjabarkan bahwa perayaan Idul Fitri pertama kali terjadi di masa Rasulullah SAW. Begini sejarahnya.


Tips Aman Konsumsi Makanan buat Penderita Diabetes saat Lebaran

26 hari lalu

Ilustrasi diabetes. Freepik.com
Tips Aman Konsumsi Makanan buat Penderita Diabetes saat Lebaran

Ahli gizi dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo membagikan kiat konsumsi makanan yang aman bagi pengidap diabetes saat hari raya lebaran.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.