Tom Saaptaatmaja, Alumnus St Vincent de Paul
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sampai saat ini masih menghadapi reaksi penolakan dari Front Pembela Islam (FPI). Organisasi kemasyarakatan ini merasa keberatan terhadap gubernur pertama yang dilantik oleh presiden, sesuai dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah, ini. Bahkan, FPI mengangkat Fahrurrozi Ishak sebagai gubernur tandingan. Menurut FPI, haram bagi umat Islam untuk dipimpin orang kafir (Tempo.co, 1/12).
Baca Juga:
Memang Ahok berbeda agama dengan pengikut FPI atau mayoritas penduduk DKI yang muslim. Tapi Ahok adalah gubernur yang punya legitimasi, apalagi acuan Ahok adalah UUD 1945 dan Pancasila. Uniknya, meski ditolak FPI, sesungguhnya banyak umat Islam yang mendukung Ahok. Buktinya, dia pernah terpilih menjadi Bupati Belitung Timur yang mayoritas muslim. Dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2012, Jokowi-Ahok memenangi pemilu dengan persentase 53,82 persen suara, tentu termasuk dari suara warga Islam. Apalagi selama ini Ahok juga banyak berempati dan tahu banyak tentang Islam, sehingga dia sampai didoakan agar mendapat hidayah untuk menjadi mualaf (pindah menjadi Islam).
Untuk itu, dilantiknya Ahok sebenarnya justru memperkaya wacana yang sudah berkembang selama hampir tiga dekade terakhir, yakni multikulturalisme. Ini paham yang mengakui adanya perbedaan dalam kesetaraan, baik secara individual maupun kelompok, dalam kerangka kebudayaan.
Multikulturalisme di Indonesia pertama-tama memang mengambil inspirasi dari Will Kymlicka (Liberalism Community and Culture, 1989). Bingkai kebudayaan diletakkan pada kesadaran tiap orang untuk merajut hidup yang baik di tengah fakta keberagaman yang tak terbantahkan dalam masyarakat.
Jadi, multikulturalisme dapat digambarkan sebagai sebuah mozaik yang sangat besar, terdiri atas semua kebudayaan dari semua komponen bangsa ini. Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial sehingga bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat, untuk kemudian menjamin kelancaran tata kehidupan masyarakat itu sendiri.
Multikulturalisme hendak mendorong kita untuk mencoba terus membangun kesadaran sosial bahwa kita tidak mungkin lagi bisa menolak keberagaman atau kemajemukan. Kesadaran semacam ini berdimensi etis, bahwa dalam praksis hidup kita, kita akan selalu menaruh hormat kepada yang lain dan yang berbeda. Michel de Certeau menyebutnya heterologi (Heterologies: Discourse on the Other, Manchester Univ. Press, 1986).
Dengan demikian, kita akan menjadi orang yang selalu bisa berlapang dada dalam menerima yang lain dengan segala perbedaaan dan keberadaannya. Kita tidak akan alergi terhadap perbedaan, karena perbedaan adalah karunia Sang Pencipta.
Bethany Bryson (2006), profesor dari Universitas Virginia, mengungkapkan, dalam sebuah masyarakat multibudaya (seperti Jakarta), setiap elemen tidak bisa saling meniadakan, tapi harus berani saling menerima dan bersinergi. Sebab, kita hidup di dunia yang multikultur, bukan monokultur. Jika menolak multikuluralisme, kembali ke zaman batu saja. Superioritas terhadap yang lain adalah konyol. Jakarta tidak membutuhkan gubernur tandingan. Cukup satu Ahok bagi 10 juta warga Jakarta.*