Anton Kurnia, penulis
Jika kita berkaca ke sejarah, pada masa jaya Sriwijaya dan Majapahit, Nusantara merupakan salah satu penguasa maritim terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari selatan ke utara. Semua bermula dari Nusantara di selatan ke "Atas Angin" di utara.
Namun kemudian zaman berubah. Arus berbalik. Bukan lagi dari selatan ke utara, melainkan sebaliknya dari utara ke selatan. Utara (baca: Eropa) menaklukkan selatan, menguasai urat nadi kehidupan Nusantara. Perpecahan dan ketamakan penguasa menjadi awal ketaklukan. Dan semua itu diperikan dengan dahsyat dalam novel monumental Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik (1995).
Protagonis novel ini, Wiranggaleng, seorang pemuda desa sederhana yang menjelma menjadi senapati cerdas gagah berani, berkata, "Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal besar dibuat hanya oleh kerajaan besar, kapal kecil oleh kerajaan kecil, menyebabkan arus tidak bergerak lagi dari selatan ke utara. 'Atas Angin' sekarang unggul, membawa segalanya ke Jawa, termasuk kehancuran, penindasan, dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita makin kecil untuk kemudian tidak mempunyai lagi .... Semasa jaya Gajah Mada, arus bergerak dari selatan ke utara; segala-galanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya, cita-cita dan citranya-bergerak dari Nusantara di selatan ke 'Atas Angin' di utara, sebab Nusantara bukan saja kekuatan darat tetapi juga kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ...."
Dalam novel ini Pramoedya, salah satu sastrawan terbesar kita, sama sekali tak ingin memuja-muja kebesaran masa lalu. Dia juga tak merindukan kejayaan masa silam. Namun dia berangan-angan akan masa depan bersama yang cerah. Baginya, sejarah merupakan cermin paling jernih untuk suatu perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik.
Pramoedya menulis betapa kekuatan maritim Nusantara pernah berjaya dan mengibarkan bendera megah ke utara. Tapi kemudian arus raksasa menggelombang dari utara mengempas Nusantara mundur ke selatan, ke kawasan pesisir pantai. Bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke pedalaman, ke desa-desa di kaki-kaki pegunungan. Kemunduran itu tak hanya secara geografis, tapi lebih-lebih lagi secara psikis dan spiritual.
Dengan slogan "Revolusi Mental", pemerintah Jokowi berupaya mengembalikan Indonesia menjadi negara yang berdaulat lahir dan batin dengan berbasis maritim. Terkait dengan hal itu, salah satu gebrakan Jokowi adalah mengangkat Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Menteri Susi membuat terobosan dengan bersikap tegas terhadap kapal-kapal asing yang kerap merampok kekayaan hasil laut kita dan merugikan kita puluhan triliun rupiah setiap tahun. Presiden Jokowi mendukungnya dengan mengancam akan menenggelamkan kapal-kapal asing yang merampok kekayaan kita itu. Pernyataan tegas itu sempat menuai kecaman dari negara tetangga kita, Malaysia.
Namun upaya tegas dalam menegakkan kedaulatan kita memang harus dilakukan. Sudah terlalu lama kita sebagai bangsa maritim melempem di lautan. Sudah saatnya kita menegakkan kembali semboyan lama "Jalesveva jayamahe". Justru di laut kita seharusnya berjaya.
Kebenaran dan kedaulatan harus kita tegakkan. Jadi, mengapa kita ragu dalam menindak para pencoleng yang selama ini merugikan kita? *