Imbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin lalu, agar media menjaga independensi, akurasi, keadilan, dan keberimbangan dalam meliput pemilihan presiden patut disambut. Namun dibutuhkan pemahaman lebih mendalam agar publik tidak menyamaratakan kebijakan editorial sejumlah media yang memilih partisan. Keberpihakan media tidak selalu sama dengan pelanggaran kode etik jurnalistik.
Mengapa? Pertama-tama tentu harus disadari bahwa aturan untuk media penyiaran berbeda dengan untuk media cetak dan online. Media penyiaran menggunakan frekuensi publik, yang dipinjam dari negara. Itu sebabnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pengelola televisi dan radio di Indonesia harus tunduk kepada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, yang dibuat Komisi Penyiaran Indonesia.
Pada Pasal 11 pedoman itu jelas disebutkan bahwa semua program media penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siarannya. Prinsip itu dipertegas kembali pada Pasal 22 ayat (5) yang menyebutkan bahwa proses produksi program siaran jurnalistik di media penyiaran tidak boleh dipengaruhi pihak internal maupun eksternal, "termasuk pemodal atau pemilik lembaga penyiaran".
Baca juga:
Dalam peliputan proses pemilihan umum, menurut aturan itu, media penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional. Aturan yang berbeda berlaku untuk media cetak dan online. Kedua media tersebut diproduksi oleh perusahaan swasta yang tidak menggunakan kekayaan alam yang dikuasai negara. Maka, Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik tidak sekali pun menyebutkan kewajiban media cetak/online untuk bersikap netral.
Pasal 6 Undang-Undang Pers hanya menegaskan bahwa pers nasional berperan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik yang dirilis Aliansi Jurnalis Independen juga menegaskan, jurnalis harus berimbang dalam peliputan. Kedua aturan itu menekankan pentingnya verifikasi dan konfirmasi dalam setiap pemberitaan media, bukan netralitas.
Dengan pemahaman itu, pilihan sebuah media cetak/online untuk mendukung atau tidak mendukung salah satu kandidat dalam Pemilihan Presiden 2014 ini tidak bisa serta-merta dituding sebagai pelanggaran kode etik.
Kebijakan editorial semacam itu baru bisa disebut menyimpang jika diintervensi oleh kepentingan internal (misalnya tekanan pemilik media) atau eksternal (godaan iklan atau suap dari salah satu kandidat presiden). Kata kuncinya adalah independensi. Sepanjang sikap partisan itu merupakan keputusan mandiri dari ruang redaksi, sikap itu sah adanya.
Kini proses pemilihan presiden sudah berakhir. Sudah saatnya Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh atas pemberitaan semua media dalam kontes demokrasi ini. Media penyiaran yang tidak netral tentu harus dijatuhi sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku. Sanksi serupa juga layak dijatuhkan pada media cetak/online yang terindikasi partisan akibat adanya intervensi dari luar ruang redaksi.