Karena tak ingin dianggap sebagai pemasok teroris, jihadis, atau mujahidin ke wilayah konflik di Timur Tengah, maka tiada jalan lain, pemerintah harus menghentikan, setidaknya menghambat, aliran sukarelawan dari Tanah Air.
Indonesia telah menjadi sasaran rekrutmen mujahidin, dan itu dilakukan secara terbuka. Dalam sebuah video berdurasi sepanjang delapan menit yang beredar melalui situs YouTube, seseorang yang mengaku Abu Muhammad al-Indunisi menyeru dalam bahasa Indonesia yang fasih. Ia meminta warga Indonesia mendukung perjuangan ISIS dan menjadi bagian dari Daulah Khilafiah Islamiyah.
ISIS, singkatan dari Negara Islam Irak dan Suriah, adalah kelompok sempalan, pecahan Al-Qaidah yang, di bawah kepemimpinan Syekh Abu Bakar al-Baghdadi, telah memproklamasikan sebuah kekhalifahan Islam bulan lalu. Daulah Islamiyah, dengan wilayah yang membentang dari selatan Irak hingga utara Suriah. Becermin dari kekhalifahan utsmaniyah di Turki, ISIS membayangkan satu peradaban baru Islam.
Popularitas ISIS yang menanjak secepat kilat setelah keberhasilannya merebut kota-kota di Irak, seperti Mosul, ini telah memukau tak sedikit orang. Beberapa bulan yang lalu, di sebuah ruang pertemuan di kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Jakarta, juga di sebuah masjid di perkebunan tebu di Dusun Sempu, Desa Gading Kulon, Kecamatan Dau, Kota Malang, sebuah deklarasi dukungan terhadap ISIS dinyatakan.
Gerakan profetik itu tidak pernah ragu memutar kembali jarum waktu ke masa lalu. Mereka seperti Taliban yang menghancurkan patung Buddha terbesar di Bamyan, Afganistan. Atau-pada ekstrem sebaliknya-seperti Khmer Merah di Kamboja yang menghalalkan pembantaian warganya untuk membangun masyarakat baru tanpa kelas.
Di wilayah yang dikuasainya, eksperimentasi kelompok Sunni garis keras ini berlangsung cukup mengerikan. Demi pemurnian agama, mereka membantai orang-orang Syiah, menghancurkan situs makam Nabi Yunus di Mosul, bahkan-kalau mungkin-berhasrat menghancurkan Ka'bah, bangunan yang dianggap telah membuat orang menyembah bentuk kubus itu ketimbang menyembah Allah.
Kalau dipikir dengan tenang, Indonesia bukanlah habitat yang tepat bagi kelompok ekstrem seperti ISIS. Kelompok ini menghimpun simpati dari pelbagai pelosok dunia internasional, dari negara yang gagal, kisruh, atau kalut. ISIS mendapatkan tempat berpijak yang kuat di Suriah yang diroyan perang saudara dan di Irak yang mengalami instabilitas sepeninggal tentara Amerika Serikat.
Patut disyukuri, perubahan besar yang menimpa kita sejak reformasi 1998-dengan seribu satu kesulitan yang dihadapi-tak kemudian membuat Indonesia menjadi negara gagal. Karena itulah, konflik politik yang tengah berlangsung hingga detik ini harus diselesaikan secara damai. Tanpa daya tahan dan stabilitas seperti ini, kelompok ekstrem akan menggunakan setiap kesempatan untuk berusaha menghadirkan masa lalu yang telah ditinggalkan zaman.