Memberantas kejahatan pemerasan terhadap para tenaga kerja Indonesia (TKI) tak cukup dengan cara persuasif. Pemerintah harus menindak tegas petugas yang nakal dengan menyeretnya ke pengadilan agar mendapat hukuman setimpal.
Kejahatan di terminal kepulangan Bandara Soekarno-Hatta itu terungkap lewat inspeksi mendadak tim gabungan dari Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, serta Angkasa Pura II. Sebanyak 18 orang yang dicurigai-seorang di antaranya anggota TNI dan dua anggota kepolisian-sempat diperiksa, tapi akhirnya dilepas.
Polisi beralasan mereka dibebaskan karena tidak tertangkap tangan tengah memeras. Para petugas itu hanya diminta membuat surat pernyataan tidak memeras TKI. Praktis, operasi ini kurang berhasil. Bisa jadi, inspeksi itu tidak digelar dengan persiapan matang, sehingga dilakukan justru ketika para TKI belum datang.
Tim gabungan seharusnya menyelidiki lebih dulu sebelum melakukan inspeksi. Tindakan yang lebih serius dan tegas diperlukan untuk memerangi kejahatan menahun itu. Setiap tahun diperkirakan Rp 325 miliar dikeruk dari sekitar 260 ribu TKI yang pulang ke Tanah Air. Mereka diperas masing-masing hingga Rp 2,5 juta. Kejahatan ini melibatkan petugas Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Imigrasi, Bea-Cukai, hingga pengamanan bandara.
Modus yang sering dilakukan antara lain membujuk TKI menggunakan angkutan yang mereka siapkan, yakni taksi gelap. Pemerasan biasanya dilakukan di tengah perjalanan. Usulan agar BNP2TKI menjalin kerja sama dengan perusahaan transportasi semacam DAMRI layak ditelaah. Menggunakan perusahaan milik pemerintah, dengan pengawasan ketat, langkah ini berpeluang memangkas praktek pemerasan.
Pembenahan layanan terhadap TKI yang mudik perlu dilakukan. Ini pekerjaan rumah yang tidak gampang, karena kejahatan itu melibatkan banyak petugas dari instansi berbeda-beda. Tapi, jika dilakukan lewat tim terpadu, semestinya pembersihan bandara dari praktek keji itu bisa berhasil. Cara lain yang sudah berkali-kali diusulkan adalah membubarkan jalur khusus untuk kepulangan TKI di bandara.
Semua perbaikan layanan itu memerlukan waktu. Cara yang cepat tentu saja dengan tindakan shock therapy. Petugas kepolisian bersama KPK diharapkan berani bertindak tegas terhadap petugas layanan TKI yang terlibat tindak kejahatan. Tidaklah sulit mendapatkan pengakuan dari para TKI yang diperas. Tidak sukar pula mengusut taksi-taksi gelap yang terlibat aksi pemerasan, lalu mengendus biang kejahatan ini.
Tanpa tindakan tegas, perbaikan layanan dan pengawasan akan sia-sia. Kejahatan di jalur kedatangan TKI telanjur subur. Para petugas yang nakal akan mengulangi praktek kotor itu karena tahu mereka tak akan dijebloskan ke penjara.