Pemerintah sepertinya tak memiliki peta jalan (roadmap) untuk mengatasi beban subsidi energi. Berbagai kebijakan untuk menyelesaikan masalah itu sangat parsial dan tidak dalam orkestrasi yang jelas. Kebijakan itu juga hanya memberikan dampak minimal.
Mulai awal Agustus ini, misalnya, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menerapkan pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, terutama solar. Pembatasan diberlakukan di Jakarta Pusat dan sejumlah kawasan, seperti daerah mulut tambang, perkebunan, dan industri. Jatah Premium di area peristirahatan jalan tol juga ditiadakan.
Kebijakan baru itu terlihat sebagai sebuah test to the water. Pemerintah tak langsung menyasar masalah pokoknya, yakni konsumsi BBM bersubsidi yang setiap tahun selalu melewati kuota yang ditetapkan dalam anggaran negara. Dampaknya, beban subsidi energi selalu lebih besar daripada yang dianggarkan.
Beleid baru itu juga tak sejalan dengan APBN Perubahan 2014 yang memangkas kuota BBM bersubsidi dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta kiloliter. Dengan waktu penerapan yang tinggal lima bulan, mustahil berbagai kebijakan baru itu bisa memberikan pengaruh yang signifikan dalam pengurangan konsumsi BBM bersubsidi.
Sebagai gambaran, sampai 31 Juli 2014, konsumsi solar bersubsidi sudah mencapai 9,12 juta kiloliter atau sekitar 60 persen dari jatah tahun ini. Data sementara konsumsi Premium juga tak jauh berbeda, yakni 17,1 juta kiloliter atau sekitar 58 persen dari total kuota APBN Perubahan 2014. Dengan demikian, pemerintah harus habis-habisan menjaga konsumsi BBM bersubsidi selama lima bulan ini agar tak melebihi kuota.
Padahal, kita tahu bahwa kenaikan konsumsi BBM merupakan keniscayaan karena penjualan mobil dan sepeda motor selalu naik setiap tahun. Dalam tiga tahun ini, penjualan mobil dan sepeda motor rata-rata mencapai 1 juta dan 7 juta unit. Artinya, dibutuhkan tambahan konsumsi BBM minimal 3,5 juta kiloliter (dengan asumsi sepeda motor mengkonsumsi 1 liter dan mobil 5 liter per hari, serta waktu pemakaian 300 kali per tahun).
Belum lagi ada faktor lain yang secara alamiah mendorong konsumsi energi (BBM dan listrik), yakni peningkatan kegiatan ekonomi. Salah satu sektor yang tumbuh pesat adalah bisnis properti, baik perumahan maupun komersial. Kerusakan infrastruktur yang parah di sejumlah daerah, seperti jalur Pantura Jawa, juga mengakibatkan kemacetan dan membuat konsumsi BBM naik.
Melihat kondisi di atas, jelas dibutuhkan kebijakan energi yang lebih berani dan memberikan dampak optimal. Salah satunya adalah menaikkan harga BBM bersubsidi secara bertahap. Pemerintah sebetulnya bisa belajar dari kenaikan tarif listrik pada 2013 sebesar 15 persen yang dilakukan secara bertahap setiap tiga bulan.
Kebijakan itu bisa dibilang sukses. Masyarakat tak banyak memprotes meskipun secara riil kenaikannya cukup besar. Pola ini juga tidak memicu spekulasi, sehingga inflasi praktis bisa dijaga dalam kisaran yang aman. Semestinya, pemerintah menjadikan kenaikan tarif listrik 2013 itu sebagai model untuk BBM bersubsidi.