Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Siapa

Oleh

image-gnews
Iklan
PAGI ini kau mungkin berdiri di tepi jalan itu. Puluhan ribu orang bergerak dalam pelbagai kendaraan, berarak-arak, berseru-seru, dengan bendera partai dan barangkali kau bertanya, dalam hati: inikah rakyat? Siapakah "rakyat"? Siapa "rakyat"—sebuah pertanyaan pokok dalam sejarah politik kita. Pada 1963, penyair Hartoyo Andangjaya menuliskan sajaknya, Rakyat, seakan-akan ingin memberi sebuah jawaban—dengan kalimat yang mirip sebuah maklumat: "Rakyat adalah kita, berjuta tangan yang bekerja...". Sajak ini lahir pada sebuah masa ketika kata "rakyat" ditulis dengan huruf "R". Tidak setiap orang masuk di dalam kategori yang ditulis dengan huruf kapital itu. Siapa yang berhak masuk ke sana ditentukan oleh mereka yang menguasai discourse saat itu—mereka yang memegang sarana propaganda "Revolusi", mereka yang "progresif-revolusioner"—dan siapa yang di luar kategori itu berarti "bukan-Rakyat", dan sebab itu dengan sendirinya "kontrarevolusioner", dan sebab itu harus minggir atau disingkirkan. Siapakah "Rakyat"? Hartoyo sendiri tak akan masuk dalam kategorisasi itu. Ia bukan penyair Lekra, organisasi penting waktu itu, dengan nama yang merupakan akronim dari "lembaga kebudayaan Rakyat". Ia salah seorang penanda tangan Manifes Kebudayaan yang pertama. Pada Mei 1964, Manifes Kebudayaan yang menyerukan kemerdekaan kreatif itu dilarang Presiden Soekarno, dan Hartoyo tak boleh diberi tempat lagi sebagai penulis. Baginya, tentu ada yang ganjil di sini. Pada masa itu yang penting bukan bagaimana puisi berbicara, tapi siapa sang penyair, dan termasuk kalangan mana dia. Hartoyo sebenarnya termasuk kelas yang tak memiliki alat produksi apa pun: ia seorang Solo yang jadi guru sekolah menengah di Sumatra Barat, dan kehilangan pekerjaan karena perang PRRI. Ia kemudian hidup di Jakarta sebagai orang gajian majalah Kuntjung, tinggal di sebuah kamar sempit di bagian belakang kantor. Saya tak jarang ikut menumpang tidur di sana, dan saya masih ingat geografi kamar itu: tak ada tempat tidur, tak ada almari, hanya sehelai tikar, seutas tali tempat menggantungkan baju, sederet buku yang dipinjam atau dibeli dari pasar buku bekas, tak ada kuali ataupun cerek. Ruang 3 x 3 meter yang jadi kamar tidur dan ruang kerja sekaligus, tempat Hartoyo membaca sajak Rilke, menerjemahkan karya Tagore, membahas lagu dolanan anak di desanya atau haiku Jepang. Tanpa alat produksi sepotong pun, Hartoyo yang kecil, kurus, dan pucat itu sebenarnya seorang proletar, bagian penting dari "Rakyat". Tetapi siapa gerangan "Rakyat", jika orang macam dia dianggap bukan, karena ia berada di luar kancah kekuasaan saat itu? Sajak Rakyat agaknya hendak melawan discourse yang saat itu ingin menyepaknya ke tempat sampah sejarah. Dan Hartoyo menulis "Rakyat adalah kita...", bukan "Kita adalah (juga) rakyat...". Artinya, ia bermula dari sebuah ide. Sajak itu sebenanya justru menggarisbawahi pemikiran yang berkuasa saat itu, bahwa "Rakyat" adalah sebuah konsep, dan orang hadir dalam kategori itu bukan karena sebuah keadaan obyektif, bukan karena ia tak punya apa pun kecuali mungkin cuma sebuah cangkul, melainkan karena sebuah keputusan. "Rakyat" adalah sebuah subyektifikasi pemihakan. Tetapi pada saat yang sama, ia juga mengumandangkan sesuatu yang universal. Tanpa kumandang dari yang "universal" itu, yang akan berkecamuk adalah "fundamentalisme": pandangan, dan semangat, untuk melihat "kelompok" atau "kaum" sendiri berbeda secara hakiki dari "kelompok" dan "kaum" lain, dan "yang-bukan-kita" adalah Ancaman Yang Kekal. Betapa mudahnya untuk tergelincir: hari ini saya memihak, esok saya seorang "fundamentalis". Juga ketika kita berbicara tentang "rakyat". Pada 1989, di Jerman Timur, ribuan orang yang berdemonstrasi menentang pemerintahan komunis mula-mula berseru, "Wir sind das Volk!". Dengan memekik, "Kamilah Rakyat itu!", mereka ingin mengatakan bahwa mereka mewakili semua—sebuah "kesemuaan" yang selama itu dibentuk oleh discourse para penguasa, wacana yang menyingkirkan mereka yang dianggap "kontrarevolusioner". Dalam pekik demonstran itu ada sebuah semangat untuk meletakkan apa yang konkret di dalam tataran apa yang universal. Dan Tembok Berlin pun runtuh—lambang runtuhnya kategori yang kukuh memisahkan manusia yang satu dari manusia yang lain. Tapi, tak lama kemudian, pekik yang terdengar pun berubah: "Wir sind ein Volk!". Dalam bahasa yang tak secara jelas membedakan antara "rakyat" dan "bangsa", pekik yang merobohkan Tembok Berlin itu berubah menjadi pekik nasionalisme. Ia jadi seruan orang Jerman sebagai satu bangsa dan satu bangunan politik. Suatu pandangan yang eksklusioner dengan mudah meradang dan menerjang dari sini, terutama di sebuah negeri tempat pengertian "siapa orang Jerman" ditentukan oleh pertalian darah (dan baru pada Mei 1999 yang baru lalu dasar itu diubah). Pekik "Kita satu bangsa!" dengan gampang meletakkan siapa saja yang "bukan-kita", atau lebih tepat (dan ini hanya bisa dikatakan dalam bahasa Indonesia) yang "bukan-kami", sebagai kaum yang tak boleh ambil bagian. Kaum neo-Nazi pun memukuli orang keturunan asing. Sebab, di kepala gundul kaum skin-head, yang ada adalah "fundamentalisme etnis". Yang universal tak ada. Mereka tak sendirian. Yang "universal" ini memang kini terancam, terutama ketika pemikiran "post-modernisme" dan "multikulturalis" menggugatnya sebagai topeng cantik imperialisme Eropa. Tetapi benarkah? Benar, tapi bagi saya, akhir abad ke-20 ini diselamatkan oleh Nelson Mandela. Dialah wakil dari mereka yang disingkirkan dari kategori "manusia yang universal" dalam pandangan apartheid, yang akhirnya membuktikan bahwa manusia bisa membongkar Tembok Berlin di mana-mana. Mandela menang, tapi ia tak meneruskan batas antara "kami" dan "mereka". Dendam, pemberi batas dan pembentuk simetri itu, tak dibangunnya. Memihak tak berarti membuat garis yang abadi. Demokrasi hanya layak jika garis abadi itu selalu bisa dilenyapkan. Demokrasi adalah memihak dan memilih. Memilih untuk tidak memilih adalah sebuah oksimoron. Pengertian "rakyat", dalam sejarah politik Indonesia, lahir dari sikap memilih dan memihak. Tak memihak pada saat penindasan memang sebuah netralitas yang kotor. Tapi justru di wajah korban, dalam pemberontakan, kita tidak sendiri. Seperti dikatakan beberapa puluh tahun yang lalu oleh Albert Camus, "Saya berontak, maka kita ada". Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Alasan Tokopedia Naikkan Biaya Layanan Merchant: Lebih Banyak Campaign untuk Jangkau Konsumen

13 menit lalu

Ilustrasi TikTok dan Tokopedia. TEMPO/Tony Hartawan
Alasan Tokopedia Naikkan Biaya Layanan Merchant: Lebih Banyak Campaign untuk Jangkau Konsumen

Platform e-commerce Tokopedia membeberkan alasan menaikkan biaya layanan merchant pada 1 Mei 2024 mendatang


KCIC Sebut Cuaca Buruk Picu Keterlambatan Perjalanan Kereta Cepat Whoosh

15 menit lalu

Kereta berkecepatan tinggi Whoosh yang menghubungkan Jakarta dan Bandung. (ANTARA/Fitra Ashari)
KCIC Sebut Cuaca Buruk Picu Keterlambatan Perjalanan Kereta Cepat Whoosh

Cuaca buruk membuat perjalanan kereta cepat Whoosh mengalami keterlambatan. PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) memberi kompensasi makanan dan minuman untuk penumpang.


Terpopuler: Jokowi Bahas Program Makan Siang Gratis Prabowo di RAPBN 2025 hingga AS Larang TikTok

22 menit lalu

Presiden Jokowi bersama rombongan terbatas termasuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bertolak menuju Jawa Timur untuk kunjungan kerja, Lanud TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Jumat, 8 Maret 2024. Foto Biro Pers Sekretariat Presiden
Terpopuler: Jokowi Bahas Program Makan Siang Gratis Prabowo di RAPBN 2025 hingga AS Larang TikTok

Berita terpopuler bisnis pada Kamis, 25 April 2024, dimulai dari program unggulan Prabowo - Gibran telah dibahas oleh Presiden Jokowi di RAPBN 2025.


Indonesia Masuk Semifinal Piala Asia U-23, Para Artis Ini Ucap Terima Kasih ke Shin Tae-Yong

22 menit lalu

Pelatih timnas U-23 Indonesia, Shin Tae-yong, saat konferensi pers menjelang laga melawan tuan rumah Qatar di Piala Asia U-23 2024. Kredit: Tim Media PSSI
Indonesia Masuk Semifinal Piala Asia U-23, Para Artis Ini Ucap Terima Kasih ke Shin Tae-Yong

Artis ramai-ramai mengungkapkan terima kasih kepada Shin Tae-yong yang berhasil membawa Indonesia masuk ke babal semifinal di PIala Asia U-23.


Proliga 2024: Jakarta Livin Mandiri Kalah 1-3 dari Jakarta BIN, Ansori Masih Lihat Satu Hal yang Bikin Optimistis

29 menit lalu

Jakarta Livin Mandiri. (PBVSI/Prolgia)
Proliga 2024: Jakarta Livin Mandiri Kalah 1-3 dari Jakarta BIN, Ansori Masih Lihat Satu Hal yang Bikin Optimistis

Tim debutan Jakarta Livin Mandiri kalah dalam laga perdanya di Proliga 2024. Mereka takluk 1-3 dari Jakarta BIN.


BMKG Prakirakan Semua Wilayah Jakarta Hujan Ringan Siang Ini

47 menit lalu

Pengendara kendaraan bermotor menembuh cuaca hujan yang mengguyur wilayah Jakarta dan sekitarnya, Selasa 30 Januari 2024. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi El Nino Southern Oscillation (ENSO) akan melemah dan berangsur ke kondisi netral pada tahun ini. TEMPO/Subekti.
BMKG Prakirakan Semua Wilayah Jakarta Hujan Ringan Siang Ini

BMKG memprakirakan cuaca Jakarta hari ini, Jumat 26 April 2024, berawan dan hujan ringan.


4 Jalur PPDB 2024 Jenjang SD, SMP, dan SMA

48 menit lalu

Ilustrasi PPDB bermasalah. ANTARA
4 Jalur PPDB 2024 Jenjang SD, SMP, dan SMA

jalur PPDB 2024 jenjang SD, SMP, dan SMA


Jadwal Timnas U-23 Indonesia di Semifinal Piala Asia U-23 2024, Lawan Ditentukan Jumat Malam Ini 26 April

51 menit lalu

Selebrasi Pratama Arhan setelah mencetak gol penalti di perempat final Piala Asia AFC U-23, Korea Selatan vs Indonesia, di stadion di Abdullah bin Nasser bin Khalifa Stadium, Qatar, Jumat dinihari WIB, 26 April 2024. Dengan kemenangan ini, Indonesia lolos ke semifinal sekaligus berpeluang meraih tiket  Olimpiade Paris 2024. Tim Humas PSSI
Jadwal Timnas U-23 Indonesia di Semifinal Piala Asia U-23 2024, Lawan Ditentukan Jumat Malam Ini 26 April

Timnas U-23 Indonesia berhasil menciptakan sejarah dengan lolos ke babak semifinal Piala Asia U-23 2024. Lawannya ditentukan malam ini.


Top 3 Dunia: Rusia Tawarkan Sukhoi ke RI, AS Minta Cina Buka Pintu

59 menit lalu

Veronika Novoseltseva charg d'affaires (kiri) dan Maxim Lukyanov (kanan) atase pertahanan di Kedutaan Besar Federasi Rusia untuk Indonesia dalam acara jumpa pers di Jakarta Selatan pada Rabu, 24 April 2024. TEMPO/Nabiila Azzahra A.
Top 3 Dunia: Rusia Tawarkan Sukhoi ke RI, AS Minta Cina Buka Pintu

Top 3 dunia adalah Rusia menawarkan Sukhoi ke RI, AS minta Cina buka pintu untuk pengusahanya hingga persiapan senjata Rusia lawan Ukraina.


Turis Cina Kembali ke Thailand untuk Berterima Kasih setelah Diselamatkan Lima Tahun Lalu

59 menit lalu

Wang Nan memeluk satu dari empat petugas yang menyelamatkannya lima tahun lalu di Pha Taem National Park Thailand (Dok. Pha Taem National Park Office)
Turis Cina Kembali ke Thailand untuk Berterima Kasih setelah Diselamatkan Lima Tahun Lalu

Turis Cina itu sedang hamil saat didorong suaminya ke tebing di sebuah taman nasional Thailand lima tahun lalu.