Budi Hatees, bekerja pada SAHATA Institute
Kisah Brigadir Rudy Siok mencari keadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah NTT mengulang kembali cerita lama tentang para pemegang sumpah Tri Bratha yang melawan institusinya.
Kisah semacam itu tak jarang berhenti di tengah jalan. Ketika Susno Duadji merasa dikriminalkan oleh Mabes Polri dalam kasus korupsi, mantan Kabareskrim Mabes Polri ini "melawan". Ia beberkan aib sejumlah perwira tinggi Polri. Publik mengingat aib itu sebagai kasus rekening gendut.
Media massa senang atas bocornya daftar rekening para perwira tinggi (pati) Polri itu. Mabes Polri justru gerah, karena pati yang terindikasi sebagai pemilik rekening gendut itu ternyata para rising star di Akademi Kepolisian (Akpol). Mereka pejabat dan calon pejabat tinggi di lingkungan Polri, orang-orang yang diharapkan akan menjalankan amanat reformasi Polri.
Aib itu merusak citra Polri. Mungkin karena itu, "perlawanan" Susno dihentikan. Soal rekening gendut dengan sendirinya berhenti. Tapi aib itu menyejarah. Publik memakainya untuk menyikapi dengan kritis para pati Polri yang ingin jadi pejabat di Polri. Konon, KPK juga memakai daftar pemilik rekening gendut itu untuk memberi tanda merah pada nama calon menteri Kabinet Kerja Joko Widodo.
Meskipun "perlawanan" Susno terhenti, hasilnya layak dicatat. Momentum ini membuat publik semakin kritis terhadap Polri. Publik berharap aparat penegak hukum harus benar-benar taat hukum. Untuk itu, budaya menghormati hukum aparat penegak hukum harus diperbaiki. Caranya, sanksi hukum terhadap aparat penegak hukum yang melanggar hukum harus maksimal; bukan sekadar sanksi disiplin yang persidangannya acap tertutup di Mahkamah Militer.
Kisah Susno kini berulang lagi lewat sosok Brigadir Rudy. Mantan penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda NTT ini mengadukan atasannya, Direktur Direktorat Krimsus Polda NTT Kombes Mochammad Slamet, ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia karena diduga terlibat kasus perdagangan manusia.
Pengaduan Brigadir Rudy ini salah satu bentuk "perlawanan" terhadap institusinya. Ketika Polda NTT menetapkannya sebagai tersangka, ia "bernyanyi" kepada publik bahwa dirinya dikriminalkan karena berhasil mengungkap keterlibatan atasannya dalam kasus perdagangan manusia.
Benarkah dugaan Brigadir Rudy mengenai atasannya itu? Benarkah Brigadir Rudy melakukan penganiayaan terhadap tersangka?
Dua kasus yang melibatkan dua anggota Polri di lingkungan Polda NTT ini harus diungkap satu per satu. Penganiayaan tersangka oleh Brigadir Rudy bukan cuma kriminalitas, tapi juga melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Peraturan Kapolri Nomor 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia harus ditegakkan secara maksimal. Sedangkan kasus Kombes Mochammad Slamet, jika benar terlibat, juga melanggar hak asasi manusia.
Karena itu, agar publik tak menuduh Mabes Polri tidak menghargai HAM, perlu akuntabilitas dan transparansi dalam mengusut kedua kasus ini. Apa pun hasilnya, publik berharap Polri bisa menegakkan hukum setegak-tegaknya terhadap anggota yang melakukan malpraktek. *