Siswo Mulyartono, Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina
Aku bisa tenggelam di lautan. Aku bisa diracun di udara. Aku bisa terbunuh di trotoar jalan. Tapi aku tak pernah mati. Tak akan berhenti. ("Di Udara"--Efek Rumah Kaca)
Munir sadar, memperjuangkan nilai kemanusiaan tidak cukup dengan turun ke jalan. Ia butuh saluran institusi untuk mengubah perilaku negara. Ia tak membentuk partai politik atau bergabung dengan partai politik. Ia memilih berjuang melalui lembaga swadaya masyarakat.
Lahir pada 8 Desember 1965 di Malang, Jawa Timur, semangat Munir dalam membela kemanusiaan dan kebenaran tampak sejak dini dan mendapatkan momentum saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Saat itu, ia mulai kerap turun ke jalan membantu kalangan yang rentan terhadap persoalan keadilan: buruh.
Saat akhirnya hijrah ke Jakarta, ia turut memperjuangkan nasib para korban penculikan dan tindak kekerasan politik yang dilakukan militer Indonesia. Tak henti-hentinya ia mendorong para keluarga korban untuk bersuara di depan publik untuk menuntut negara mengadili para tersangka.
Bersama teman-teman seperjuangannya, ia membentuk Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan serta The Indonesian Human Rights Monitor. Sampai sekarang, dua lembaga itu berperan aktif memperjuangkan dan memperkuat demokrasi dan HAM di Indonesia, sumbangan Munir yang tak ternilai harganya.
Sayang, pemerintah pasca-Orde Baru yang mengaku demokratis abai terhadap sumbangan Munir. Malahan, ia dianggap sebagai ancaman. Ancaman bagi siapa? Bagi siapa pun yang mempertahankan dan mencari kuasa politik dengan cara menindas dan mengorbankan nyawa orang lain.
Munir pun kerap diteror orang-orang yang merasa terancam. Ia pernah dituduh menghamili perempuan selain istrinya. Paket bom dikirim untuk menghancurkan rumah orang tuanya. Masih banyak teror lain. Puncak kegilaan para peneror tiba pada 7 September 2004. Saat itu, Munir menaiki pesawat hendak melanjutkan sekolah di Utrecht, Belanda. Saat tiba di Belanda, ia sudah tak bernyawa. Ia mati diracun menggunakan arsenik. Munir mati di udara.
Sampai saat ini dalang pembunuh Munir belum juga dihukum. Sang dalang bebas berkeliaran dan menertawakan hukum di Indonesia yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.
Keadilan semakin ompong ketika pemerintah pada 28 November 2014 membebaskan Pollycarpus, eksekutor pembunuh Munir, yang pada Januari 2008 divonis Mahkamah Agung 20 tahun penjara.
Harapan bagi tegaknya keadilan muncul saat Jokowi dan Jusuf Kalla memimpin pemerintah Indonesia. Ketika kampanye pemilihan presiden 2014, mereka berjanji akan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Sudah saatnya mereka menepati janji. Jika gagal, mereka tak jauh beda dengan pendahulunya, SBY.
Mengantisipasi kekecewaan terhadap pemerintahan saat ini, kita perlu merenungkan pernyataan istri Munir, Suciwati, pada Sabtu lalu (29/11) di Tempo.co: "Saya akan terus menyuarakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia belum selesai." Suciwati berpesan kepada kita semua bahwa jangan pernah berharap sepenuhnya kepada janji-janji pemerintah. Berharaplah pada keberanian. Pada kemanusiaan.