Junaidi Abdul Munif, penulis
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan akhirnya memutuskan untuk menghentikan penerapan Kurikulum 2013 (K-13) di sebagian besar sekolah. Alasannya, belum ada kajian mendalam tentang K-13, baik dari segi konsep maupun substansi, sehingga pemberlakuannya terkesan dipaksakan. Ada 6.221 sekolah yang dijadikan proyek percontohan pelaksanaan K-13. Menteri Anies tampaknya "rikuh" jika harus menghentikan total K-13 dan mengumumkan kembalinya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006.
Sebetulnya terlalu dini untuk menilai apakah K-13 berhasil atau tidak ketika belum semua sekolah melaksanakannya. Namun banyak pengamat menilai K-13 salah konsep dan substansi. Yang paling fatal adalah penyatuan beberapa mata pelajaran yang rentan menghilangkan keunikan pelajaran tertentu.
Bagi yang pro dengan K-13, kurikulum ini memang disiapkan untuk jangka panjang, alias menyiapkan generasi emas pada 2045. Siswa dilatih untuk "berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan efektif" (Sukemi, Koran Sindo, 3/12).
Saat hiruk-pikuk K-13 merebak, di manakah anak-anak kita? Mereka masih hidup dalam ruang riuh tugas sekolah, buku ajar, dan les. Anak-anak diletakkan sebagai obyek an sich dari kurikulum. Seperti yang dikatakan guru-guru mereka, tugas pelajar adalah belajar, tak peduli kurikulum apa yang digunakan.
Ada dua model pendekatan kurikulum bagi siswa. Pertama, kedisiplinan melalui mata pelajaran, yang mementingkan pelatihan dan keterpelajaran guru. Kedua, minat anak didik, yang melandaskan diri pada pemahaman guru atas naluri-naluri alamiah anak (John Dewey, 1999). Dari sini, tampak K-13 berjalan pada ranah yang pertama. Karena itu, yang digenjot adalah guru, sehingga mereka memahami betul kurikulum yang diterapkan dan mampu mengimplementasikan K-13 pada anak didik.
Apa sebetulnya substansi kurikulum? Kita mengenal CBSA (cara belajar siswa aktif), KBK (kurikulum berbasis kompetensi), KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan), dan K-13. Ada arah dan tujuan yang sama, yakni membentuk siswa yang aktif, entah itu bertanya, mengamati, menalar, ataupun mencipta, seperti halnya yang diusung K-13.
Apa yang terjadi di dalam ruang kelas sampai hari ini? Kelas yang sunyi, siswa yang tidak berani bertanya, serta ketiadaan motivasi dan antusiasme belajar. Ruang kelas memang terasa agak menjemukan. Para siswa duduk di bangku yang berurutan. Jika ada satu murid yang bertanya, yang lain diam mendengarkan. Dengan mayoritas suasana kelas seperti itu, kita patut skeptis bahwa kurikulum apa pun yang diterapkan, hasilnya sama saja atau tak jauh berbeda. K-13 mensyaratkan situasi pembelajaran yang berfokus pada siswa sebagai pihak yang aktif bertanya.
Mungkin bisa diterapkan beberapa model kurikulum sekaligus dalam sistem pendidikan nasional melalui payung hukum. Saya rasa, perubahan pada KTSP dan K-13 tidak banyak. Keduanya hanya menyempurnakan apa yang sudah ada sebelumnya. Dengan demikian, akan teruji dengan sendirinya mana kurikulum yang bagus. Kalau perlu, KBK juga bisa dihidupkan kembali. Pemerintah selayaknya menjadi fasilitator dengan pola desentralisasi. Dalam artian, sekolah menjadi lembaga yang independen.
Merumuskan konsep kurikulum pada akhirnya harus berpijak pada konsep kita dalam memandang anak-anak itu sendiri, apakah anak-anak merupakan obyek sang guru atau rekan sang guru. *