A. Dahana, Guru Besar Sinologi Universitas Bina Nusantara
Dua dasawarsa pertama abad ke-21 adalah masa suram buat demokrasi. Ambil contoh di negeri-negeri yang mengklaim sudah memasuki era di mana kedaulatan rakyat menjadi kekuasaan tertinggi. Di sana demokrasi lebih cocok disebut democrazy-atas nama konsep itu, orang boleh bersikap semau gue.
Demokrasi juga berarti politik uang dan ideologi buat keuntungan pribadi atau kepentingan golongan. Karena itu, demokrasi yang mestinya dijalankan dengan adu argumentasi kini lebih merupakan konflik beraroma kekekerasan. Bahkan, di Amerika, negeri yang diagungkan sebagai kampiun demokrasi, Partai Demokrat dan Partai Republik saling piting dan saling blokir program. Telah berulang kali pemerintah harus ditutup lantaran rencana anggaran belanja diblokir oposisi, sehingga berbagai program kemaslahatan rakyat harus terhenti.
Dalam situasi seperti itu, sekarang ini banyak yang menoleh ke "model Cina." Slogannya "Belajar dari Cina" (Xiang Zhongguo Xuexi). Inilah model sistem politik dan pemerintahan yang nyeleneh. Dulu, sudah jadi argumentasi yang tak bisa ditawar bahwa kemakmuran tak akan tercapai tanpa didampingi demokrasi.
Karena itulah, begitu Uni Soviet bubar, Francis Fukuyama mengibarkan bendera kemenangan demokrasi dan kapitalisme. Ilmuwan sosial-politik Amerika itu kurang-lebih mengatakan kapitalisme plus demokrasi telah berjaya dalam perebutan pengaruh melawan sosialisme. Dan, karena itu, pencarian manusia atas aturan kehidupan telah berakhir.
Namun, di Cina kita menyaksikan fenomena sebaliknya. Kesuksesan pembangunan ekonomi Cina malah diraih karena mereka menyandingkan dua ajaran yang menurut konsep lama tak mungkin bersatu. Itulah otoritarianisme dan kapitalisme. Partai Komunis Cina (PKC) mampu menciptakan keamanan dan ketertiban-dua dari sekian banyak prasyarat bagi pembangunan ekonomi.
Lalu, di bawah kebijakan baru itu muncullah slogan "sosialisme berkarakter Cina" (Zhongguo tese de shehuizhuyi) dan "ekonomi pasar dengan karakter Cina" (Zhongguo tese de shichang jingji). Di bawah sistem ekonomi yang diperkenalkan mendiang Deng Xiaoping itu, orang Cina didorong untuk xiahai atau terjun ke lautan ekonomi dan bisnis. Itu dilakukan di bawah slogan lain: "menjadi kaya mulia"(zhifu guangrong) dan "sosialisme tak berarti kemiskinan" (pinqiong bu shi shehuizhuyi). Padahal, selama 1957-1980, Mao dan para pemujanya menganggap itu sebagai perbuatan haram.
Sebagai akibat dari kebijakan baru itu, perekonomian Cina dalam 30 tahun terakhir ini terus berkembang dengan angka pertumbuhan rata-rata di atas 7 persen per tahun. Hasilnya, Cina telah berubah dari sebuah negara Dunia Ketiga menjadi raksasa ekonomi global, nomor dua setelah Amerika. Bahkan, diperkirakan paling lambat menjelang 2050, negara ini akan melampaui Amerika dan akan menjadi satu-satunya negara adikuasa di bidang ekonomi, politik, dan militer. Apakah resep kesuksesan pembangunan yang begitu besar itu?
Jawabannya bisa macam-macam. Tetapi faktor-faktor inilah yang barangkali bisa dikemukakan. Ada argumen bahwa PKC telah berkuasa di daratan Cina lebih dari 65 tahun. Partai ini telah berakar kuat dan dalam di segala lapisan masyarakat dan birokrasi. Partai ini juga tak pernah memberi peluang kepada adanya kekuatan sosial dan politik yang pada suatu saat punya kekuatan buat menyainginya. Pembantaian Tiananmen 1989 dan peristiwa Fa Lun Gong pada 1990-an adalah contoh tentang PKC yang tak memberi peluang kepada perbedaan pendapat.
Contoh mutakhir adalah peristiwa yang sedang berlangsung di Hong Kong sekarang. Pemerintah bekas jajahan Inggris itu ditekan untuk tak toleran terhadap para pendemo Revolusi Payung yang menuntut pemilihan bebas buat menunjuk seorang pemimpin eksekutif. Sebab, sekali pendemo Hong Kong itu diberi hati, gemanya akan terasa di Cina sendiri, Makau, dan Taiwan. Namun, di sisi lain, PKC cukup fleksibel. Ketika Deng mengubah pedoman PKC dari "politik sebagai panglima" ke "ekonomi sebagai panglima," hal itu berlangsung tanpa banyak krisis.
PKC tak akan kekurangan pemimpin, lantaran kaderisasi berjalan dengan sangat menuruti aturan. Itu didukung oleh fakta bahwa Cina merupakan sebuah negara yang penduduknya homogen. Dari sekitar 1,4 miliar manusia, posisi mayoritas, atau 93 persen, dipegang suku Han. Sisanya terdiri atas berbagai suku minoritas yang jumlahnya maksimum 7 persen. Karena itu, menurut argumentasi ini, relatif mudah bagi PKC untuk melakukan rekayasa sosial. Memang ada masalah dengan suku Tibet yang Buddhis dan orang Xinjiang yang muslim. Namun, karena jumlahnya minim, relatif mudah bagi pemerintah Cina untuk mematahkan segala perlawanan kedua suku militan itu.
Jurus yang dipakai antara lain dengan memberi cap kepada para pembangkang sebagai "kaum separatis." Hasilnya, mereka tak banyak mendapat dukungan masyarakat internasional. Usaha lain untuk mematahkan oposisi kaum minoritas itu adalah dengan migrasi suku Han ke wilayah-wilayah yang dihuni mereka. Hal itu dikombinasikan dengan asimilasi. *