Geger Riyanto, Esais dan Peneliti di Purusha Research Cooperatives
Bagi orang-orang yang terkejut oleh bentrok Golkar, seolah-olah tak sepantasnya terjadi, ada sebuah ungkapan lama dalam dunia politik kita: Golkar tak pernah tidak pecah. Sejarah partai berlambang beringin ini adalah halaman-halaman yang tak pernah absen dari perseteruan internal. Mengapa?
Baca juga:
Kita tak harus menjadi pakar politik untuk menyadari bahwa Demokrat berada di bawah bayang-bayang SBY. Kata-kata SBY adalah kata-kata partai. Apa yang dikehendaki SBY untuk Demokrat, terjadilah untuk Demokrat. Demikian juga dengan Gerindra dengan Prabowo sebagai figur sentralnya. Pun demikian PDIP dengan Mega sebagai sosok panutannya.
Namun, hal yang sama tak bisa kita katakan untuk Golkar. Bila partai-partai di Indonesia menjadi besar berkat dikatrol oleh figur karismatik tertentu, Golkar bukanlah partai dalam pengertian yang lazim di Indonesia. Partai ini adalah mesin politik yang dalam rezim Orde Baru tak sebentar dimanfaatkan untuk membangun simbiosis dengan pemimpin kultural, ulama, jago, pengusaha, maupun warga awam setempat untuk mengamankan kekuasaan Soeharto.
Dan Akbar Tandjung dalam bukunya pernah menyampaikan bahwa Golkar punya merit system yang memberi penghargaan setimpal kepada kader yang berdedikasi dan berprestasi. Sampai dengan pengertian tertentu, hal ini benar. Elite-elite lokal yang punya kapasitas memenangkan atau membesarkan Golkar, entah bagaimana caranya, akan memperoleh tempat yang dihormati dalam strukturnya. Dengan warna aliran atau ideologi yang kabur, hanya sistem yang apresiatif yang akan memastikan mesin partai bekerja.
Berkat jejaring warisan ini, Golkar sejak Reformasi menikmati kedudukan sebagai partai yang perolehan suaranya paling ajek. PDIP boleh saja menguasai Pemilu 1999. Demokrat boleh saja memenangi Pemilu 2009. Tapi Golkar, yang sumber daya lokalnya bekerja tanpa terusik isu nasional, akan selalu membuntuti di urutan kedua atau menjadi yang pertama saat yang lain sedang tidak diuntungkan oleh situasi politik sesaat. Golkar, selaku sebuah mesin politik dalam pengertian yang sesungguhnya, tak mengenal apa yang disebut Anas "musimnya".
Dengan usianya yang kini melampaui umur rezim-rezim yang membidani dan membesarkannya, jelas saja partai ini tak bisa dikatakan sebagai milik siapa-siapa. Yang terjadi, justru sebaliknya, para figur berebut menunggangi partai ini untuk membesarkan dirinya, memperluas aksesnya, mencapai tujuannya. Golkar tidak pernah kehilangan Akbar Tandjung, JK, saat sosok-sosok ini sudah tak menjabat. Sosok-sosok ini yang justru kehilangan tapakannya di ranah politik selepas masa jabatannya di partai berakhir. Sementara itu, apakah kita bisa membayangkan Demokrat selepas dipimpin SBY dan PDIP selepas dipimpin Megawati?
Dan adalah hal yang sangat tidak mengherankan bila partai ini, saat ini, tengah menjadi medan pertikaian sengit pihak-pihak berkepentingan. Pertaruhan yang sudah disorongkan masing-masing pihak terlalu besar. Siapa pun yang berhasil meyakinkan bahwa partai Golkarnya sah, akan memperoleh seisi kue yang diharapkannya, dan yang lainnya, tersingkir-sebagaimana yang sudah-sudah. Sebagaimana yang akan terus menjadi takdir partai ini. *