Peraturan Menteri Keuangan yang baru soal tarif bea keluar atas ekspor produk mineral hasil pengolahan layak diapresiasi. Aturan ini lebih luwes bagi pengusaha, tapi juga mendorong mereka agar segera membangun smelter yang disyaratkan undang-undang. Pengusaha tak bisa lagi berkilah kesulitan melaksanakan ketentuan tersebut.
Lewat peraturan bernomor 153/PMK. 011/2014, berlaku per 1 Agustus 2014, tarif bea keluar dikelompokkan berdasarkan tingkat kemajuan proyek dan sesuai dengan persentase penyerapan biaya. Ada tiga hal yang dijadikan dasar dalam pengenaan bea pada aturan baru ini.
Pertama, pembangunan smelter hingga 7,5 persen dikenai bea keluar 7,5 persen. Kedua, perusahaan yang telah membangun smelter 7,5-30 persen dipungut bea keluar 5 persen. Dan ketiga, pembangunan yang telah mencapai lebih dari 30 persen dikenai bea keluar nol persen alias gratis. Aturan ini berlaku hingga 12 Januari 2017. Setelahnya, larangan ekspor berlaku bagi perusahaan tambang tak berfasilitas pemurnian mineral.
Ketentuan baru ini lebih lunak dibanding sebelumnya. Dalam ketentuan lama, untuk konsentrat tembaga, misalnya, digenjot bea keluar sebesar 25 persen hingga Desember 2014, 35 persen hingga Juni 2015, dan 40 persen sampai Desember 2015. Tahun berikutnya, bea keluar 50 persen pada paruh pertama 2016, lantas naik menjadi 60 persen pada paruh kedua. Tujuannya, memaksa korporasi membangun smelter.
Dengan ketentuan baru, pengusaha tak hanya mendapat toleransi, tapi juga perangsang untuk membangun smelter dengan iming-iming gratis bea keluar. Aturan baru ini lebih konkret dan terukur. Alasannya, insentif diberikan berdasarkan tingkat kemajuan proyek. Ini juga berarti perusahaan yang tidak produktif tak akan kecipratan kemudahan fiskal.
Tentu kontrol atas aturan baru ini harus lebih kuat. Setiap tahap perkembangan proyek harus diperiksa. Pemerintah juga harus rajin menagih janji. Kelalaian menagih inilah yang dulu membuat UU Minerba tak bisa diterapkan tepat waktu.
Kewajiban membangun fasilitas pemurnian sebenarnya telah lama ditetapkan. Kebijakan itu adalah dampak dari revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, yang dinilai kurang menguntungkan bagi Indonesia. Hasilnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara dikenal sebagai Undang-Undang Minerba.
Undang-undang ini melarang perusahaan tambang mengekspor mineral mentah sebelum diolah dan dimurnikan. Sesuai dengan UU Minerba, regulasi ini berlaku juga bagi kontrak karya yang sudah ada. Isi kontrak harus disesuaikan dengan undang-undang baru paling lambat setahun. Pemerintah pun memberikan masa transisi selama lima tahun, sampai 12 Januari 2014, agar perusahaan mempersiapkan diri.
Nyatanya, perusahaan tambang abai. Hingga tenggat tiba, bukannya sibuk menyiapkan smelter, mereka malah meminta toleransi. Ini tak boleh terjadi lagi. Aturan harus ditegakkan. Artinya, setelah 12 Januari 2017, seluruh perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia harus memiliki smelter.