Komisi Pemberantasan Korupsi harus segera mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Riau terhadap bekas Gubernur Riau Rusli Zainal. Dalam putusan itu, hukuman Rusli dikurangi dari 14 tahun menjadi 10 tahun penjara. Komisi patut mempertanyakan argumen korting hukuman ini.
Tiga hakim Pengadilan Tinggi, dalam sidang 24 Juli lalu, mengurangi hukuman Rusli dengan alasan ia bukanlah otak kasus korupsi Pekan Olahraga Nasional di Riau. Majelis menilai inisiator suap kasus PON itu adalah orang lain.
Di pengadilan tingkat pertama, Rusli diganjar hukuman 14 tahun penjara atas dua perkara, yakni korupsi PON Riau dan penyalahgunaan wewenang dalam kasus kehutanan. Vonis ini lebih rendah daripada tuntutan jaksa KPK yang meminta majelis menghukum Rusli 17 tahun kurungan. Padahal, dalam dua kasus itu, Rusli dinyatakan bersalah. Ia terbukti pula menyalahgunakan wewenang karena merestui usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman di wilayahnya.
Putusan banding itu perlu diperiksa secara cermat, mengingat sebelumnya Rusli terbukti memainkan peran sentral dalam kasus suap PON. Ia didakwa memeras kontraktor untuk menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Riau senilai Rp 1,8 miliar agar memuluskan revisi Peraturan Daerah Pembangunan Arena PON. Rekaman percakapan Rusli mengenai pengaturan suap itu pernah diperdengarkan dalam sidang.
Rusli juga disebut-sebut ikut mengatur pemberian suap yang diduga atas permintaan sejumlah politikus DPR. Lukman Abbas, bekas Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau yang dihukum 5 tahun 6 bulan penjara, juga mengaku diperintah Rusli menggelontorkan US$ 1,05 juta agar politikus Senayan menyetujui usul agar dana PON Rp 296 miliar dianggarkan dalam APBN Perubahan 2012.
Dengan sejumlah fakta persidangan itu, mustahil Rusli hanya pemain pinggiran. Sebagai kepala daerah, ia adalah orang yang paling berkepentingan dalam kesuksesan penyelenggaraan pekan olahraga di provinsi itu. Ia justru yang semestinya paling bertanggung jawab atas kasus korupsi proyek PON.
Hal yang juga layak dipersoalkan adalah sikap Pengadilan Tinggi Riau yang tak menyebutkan siapa orang lain yang menjadi inisiator suap itu. Kuasa hukum Rusli menyatakan inisiator suap yang dimaksudkan oleh tiga hakim tersebut adalah Lukman Abbas. Jika pernyataan itu benar, argumen pengadilan banding yang mengurangi empat tahun hukuman Rusli justru kian ganjil.
Tak masuk akal seorang kepala dinas bisa dengan mudah mengakali seorang gubernur dan berani "bermain" hingga ke Senayan. Aneh pula, sebagai aktor utama, Lukman malah mendapat hukuman separuh vonis Rusli.
Dengan sejumlah kejanggalan itu, selayaknya KPK cepat merespons pengurangan hukuman tersebut. Komisi Yudisial juga perlu turun tangan. Memang amat sulit membuktikan ada atau tidaknya suap di balik putusan itu. Tapi KY jelas bisa menelusuri rekam jejak hakim yang memberikan diskon hukuman bagi Rusli.