Kita tak harus panik menghadapi keganasan virus ebola, yang oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah dinyatakan sebagai penyakit berstatus darurat kesehatan global. Namun tak bersikap hati-hati juga berbahaya. Meski Indonesia terletak jauh dari episentrum penyebaran ebola di Afrika Barat, kehati-hatian tingkat tinggi harus tetap diberlakukan. Apalagi sampai sekarang belum ditemukan vaksin yang mustajab untuk mengatasi keganasan virus ini.
Keganasan ebola terbukti dari daya bunuhnya yang luar biasa. Angka kematian akibat serangan virus ini sangat tinggi, berkisar 80-90 persen. Ini jauh lebih tinggi dibanding virus SARS (severe acute respiratory syndrome), yang potensinya berkisar 50-60 persen. Berbeda pula dengan virus SARS yang korbannya bisa ditolong dengan kombinasi antibiotik, virus ebola belum ada penangkalnya.
Daya bunuh itulah yang menyebabkan jumlah korban ebola tergolong tinggi. Sampai pekan lalu, korban tewas sudah mencapai hampir 1.000 orang. Angka ini di luar 1.700 korban yang positif terinfeksi. Sebagian besar yang terjangkit berada di pusat wabah di negara Afrika Barat, yakni Sierra Leone, Guinea, dan Liberia. Namun penyebaran pun sudah terjadi. Sejumlah korban ditemukan pula di Nigeria.
Dampak penyebaran itulah yang harus diperhitungkan, termasuk oleh Indonesia. Ebola menular melalui kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, dan jaringan orang yang terinfeksi. Ini artinya, kemungkinan penularan antarmanusia sangat tinggi.
Maka, cara paling efektif adalah merawat dan mengisolasi mereka yang terjangkit. Sembuhnya penderita pun tak berarti bahaya telah berlalu. Sebab, penderita yang telah pulih masih bisa menularkan virus hingga tujuh pekan setelah dinyatakan sembuh.
Masalahnya, dengan mobilitas global manusia antarkawasan yang begitu tinggi, isolasi juga mustahil dilakukan. Itu sebabnya, sudah waktunya pemerintah memikirkan langkah lebih serius untuk mencegah penularan. Jika selama ini pemerintah hanya mengimbau warga Indonesia agar membatalkan kunjungan ke negara episentrum ebola, sudah waktunya memperketat larangan itu. Misalnya, membuat daftar negara yang terlarang dikunjungi. Ini memang tak sesuai dengan imbauan WHO yang tak menginginkan pelarangan total. Namun, jika wabah tak kunjung reda, opsi pelarangan total patut diperhitungkan.
Lebih penting lagi adalah kesiapan menangkal di pintu-pintu masuk wilayah Indonesia. Pemerintah punya pengalaman soal ini ketika wabah SARS merebak di Asia, sepuluh tahun silam. Pengalaman itu merupakan modal penting. Namun, setelah satu dekade berlalu, prosedur penangkalan haruslah diperbarui. Kemampuan deteksi, pengamatan, dan respons petugas medis serta sarana pendukung di bandara maupun pelabuhan jelas harus ditingkatkan.
Pencegahan masuknya virus melalui mobilitas manusia adalah opsi yang paling mungkin, karena belum ada vaksin untuk virus ini. Jika ada penderita yang telanjur masuk, satu-satunya pilihan adalah karantina dan isolasi total, sembari merawat sang penderita. Maka, kesiapan rumah sakit penampung korban ebola sangat penting.