Firoz Gaffar, Dosen Analisis Ekonomi atas Hukum
Tidak ramai diberitakan di media, Peraturan Presiden (Perpres) 176/2014 telah membabat 10 lembaga non-struktural (LNS). Konsiderans cuma menyebut singkat alasan normatifnya: efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Adapun perbincangan publik menyinggung topik eliminasi tumpang-tindih fungsi organ, reduksi anggaran negara, dan optimalisasi peran kementerian.
Berbicara tentang LNS, kita teringat reformasi dua windu yang telah lewat. Tiupan euforia melanda birokrasi, bongkar-pasang LNS sah saja karena bukan soal ribet prosedur atau tabu sasaran, bukan pula soal tepat fungsi atau ringan bujet. Lihat rezim Gus Dur sebagai presiden pada awal era reformasi, betapa banyak dibentuk LNS baru, dengan ketidakpercayaan atas kredibilitas instansi struktural sebagai pemicunya.
Ambil contoh Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk pada 2000. Sebagai advisory organ, tugasnya beririsan dengan Badan Pembinaan Hukum Negara (BPHN) di Kementerian Hukum dan HAM. Selaku planning agency, nomenklaturnya bertabrakan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tapi KHN tetap lahir, karena urgensi penanggulangan krisis kepercayaan atas hukum tidak bisa ditaruh di pundak kementerian terkait.
Yang ingin digagas penulis, tidakkah pemangkasan LNS ini menjadi momentum perubahan model birokrasi? Bukankah rezim pemerintah Jokowi-JK sudah menjadikan revolusi mental sebagai salah satu tagline-nya? Revolusi birokrasi di depan mata.
Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, ada 87 LNS yang terbentuk sejak era Gus Dur hingga era SBY, yaitu dari 1999 sampai 2014 (Kompas, 16/12/14). Satu alasan yang menonjol dalam pembentukannya adalah hilangnya public trust atas organ resmi. Konklusi ini tidak keliru dan bukan hal unik di Indonesia.
Dilaporkan Alice Rivlin (1996), sejak 1970 negara anggota Organization of Economic Cooperation Development (OECD) menghadapi tekanan fundamental berupa ekonomi global, ketidakpuasan warga negara, dan krisis fiskal. Mereka melakukan kebijakan reaktif serupa, yakni perubahan administrasi publik dan birokrasi, termasuk pembentukan LNS.
Kalau LNS bukan anak haram reformasi, maka apa dosanya? Tumbuh suburnya LNS, kata Jimly Asshidiqie (2008), "bagaikan cendawan di musim hujan". Hal ini hadir didasari idealisme efisiensi dan efektivitas, kendati sayangnya tanpa desain matang dan komprehensif. Sifatnya reaktif, sektoral, dan dadakan. Realisasi misi birokrasi tidak bisa lagi dengan tambal-sulam atau gonta-ganti LNS. Padahal, yang disyaratkan adalah revisi cara pandang atas model birokrasi, bukan dengan kacamata konservatif secara induktif atau deduktif.
Selama ini tertanam asumsi pemerintah kegemukan, terpusat, dan rumit, yang lalu kita coba atasi via layanan publik hemat dan cepat. Ini adalah pergulatan dalam perjalanan dari bureaucratic model ke entrepreneural model. Ahli sejarah, Thomas Kuhn, dengan teori paradigmanya mengklarifikasi hal ini. Paradigma ialah himpunan asumsi yang membentuk persepsi dan menjelaskan kenyataan (Thomas Kuhn, 1970). Prosesnya dari asumsi berubah menjadi kondisi biasa, lalu nilai baru menimbulkan anomali, terjadi krisis, melalui revolusi bergeser menjadi kondisi baru.
Asumsi patrimonial adalah persepsi kita atas model birokrasi lama, yang berciri: pejabat disaring berlandaskan relasi pribadi, jabatan menjadi sumber kekayaan, dan tindakan pejabat disasar ke interest politik. Adapun fenomena baru menuntut penegakan aturan, orientasi kualitas, dan netralitas layanan. Ini anomali, sehingga timbul krisis birokrasi, yang membutuhkan revolusi. Di titik ini ditunggu model birokrasi baru.
David Osborne dan Ted Gaebler (1992) menawarkan birokrasi wirausaha yang didasari fenomena nyata menghadapi anomali. Tidak asing buat kita, tapi perlu keberanian. Apa mungkin pemerintah bisa run like business? Hal ini membutuhkan pemerintah yang mendorong, bukan mematikan kompetisi. Pemerintah harus memberdayakan warga, di mana kontrol dilakukan oleh komunitas sendiri; yang menilai kinerja berdasar hasil; yang menggerakkan dengan misi, bukan regulasi; yang mengubah layanan dengan opsi, tidak tunggal; yang menggunakan sumber daya untuk pendapatan, bukan belanja; yang mendesentralisasi wewenang, tidak menentang partisipasi manajemen; yang mengedepankan interest pasar, bukan birokrasi sendiri; yang melakukan katalisasi, bukan sekadar layanan biasa.
Kalau LNS dihidupkan dalam suasana tersebut, tentu sikap kita tidak perlu reaktif, sektoral, dan dadakan. LNS yang tidak mencerminkan model wirausaha harus tegas dicopot papan namanya. Tapi LNS yang siap berkarakter model wirausaha mesti didukung, demi kokohnya paradigma baru.
Jangan lupa, menjatuhkan vonis bubar atau lanjut harus diawali dengan audit kelembagaan. Hal ini memotret kondisi fundamental LNS. Pencapaian program, pembukuan keuangan, kerja sama pihak ketiga, dan status kepegawaian adalah sebagian aspek yang diverifikasi. Ingat wejangan: "Mulailah, begitu mulai, separuh pekerjaan selesai" (incipe, dimidum facti est coptum).*