Kadir, bekerja di Badan Pusat Statistik
Salah satu capaian Menteri Susi yang patut dibanggakan adalah keberhasilannya menurunkan harga ikan. Hal itu tecermin dari statistik harga konsumen (inflasi) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini. BPS melaporkan, komoditas ikan segar mengalami penurunan harga sebesar 0,37 persen sehingga menyumbang deflasi sebesar 0,02 persen pada November 2014. Padahal nyaris semua komoditas yang termasuk dalam kelompok bahan makanan justru menyumbang inflasi.
Secara ekonomi, penurunan harga tersebut merupakan pertanda bahwa pasokan ikan berlimpah. Dalam soal ini, sedikitnya ada dua penyebab. Pertama, kondisi cuaca yang mendukung nelayan untuk melaut. Kedua, boleh jadi, hal itu merupakan buah dari keseriusan dan kerja keras Menteri Susi dalam memerangi aksi pencurian ikan (illegal fishing) dalam beberapa bulan terakhir, yang puncaknya adalah penenggelaman tiga kapal nelayan Vietnam di perairan Anambas, Kepulauan Riau, pada awal bulan ini.
Tak bisa dimungkiri, aksi penenggelaman tersebut mampu memberi efek kejut bagi kapal-kapal nelayan asing yang terbiasa wara-wiri di perairan Indonesia untuk mencuri ikan. Seperti diwartakan sejumlah media, pasca-penenggelaman tersebut, wilayah perairan Indonesia, terutama di titik-titik di mana aksi pencurian ikan biasa terjadi, menjadi sepi dari aktivitas kapal-kapal nelayan asing. Ditengarai, hal itu berdampak signifikan terhadap peningkatan hasil tangkapan nelayan lokal sehingga membikin pasokan ikan segar berlimpah.
Selain meningkatkan hasil tangkapan nelayan, keseriusan pemerintah dalam memerangi illegal fishing sejatinya bakal mendorong peningkatan konsumsi ikan masyarakat, karena pasokan ikan yang berlimpah dengan harga terjangkau.
Faktanya, konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih rendah. Itu pun sebagian ikan yang dikonsumsi adalah hasil budidaya, seperti mujair dan lele, yang, kata Menteri Susi, nyaris 100 persen komponen pakannya harus diimpor. Data statistik memperlihatkan, konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia rata-rata hanya 35 kilogram per tahun. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Malaysia, yang konsumsi ikan penduduknya sebesar 56 kilogram per kapita per tahun; dan Singapura, yang mencapai 49 kilogram per kapita per tahun.
Tidak mengherankan bila konsumsi protein hewani penduduk Indonesia relatif rendah. Bayangkan, dari kebutuhan protein hewani sebesar 150 gram per hari, rata-rata pemenuhan masyarakat Indonesia hanya 60 persen. Cukup jauh bila dibandingkan dengan Thailand, yang mencapai 100 persen; dan Vietnam, yang mencapai 80 persen. Hal tersebut ditengarai telah berkontribusi signifikan terhadap tingginya prevalensi orang bertumbuh pendek dan gizi kurang di tanah air.
Ini tentu sebuah ironi, mengingat negeri ini sejatinya diberkahi Tuhan dengan kekayaan ikan yang berlimpah, yang notabene merupakan salah satu sumber utama protein hewani. Bayangkan, luas perairan laut negeri ini mencapai 5,8 juta kilometer persegi, dengan potensi produksi ikan lebih dari 7 juta ton per tahun. Karena itu, keseriusan dan kerja keras yang ditunjukkan Menteri Susi adalah sebuah harapan, tidak hanya bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, tapi juga untuk peningkatan konsumsi ikan dan asupan protein masyarakat Indonesia. *