Resmi sebagai pemenang Pemilihan Umum Presiden 2014 semestinya tidak membuat pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla larut dalam pesta kemenangan. Setumpuk pekerjaan besar telah menanti begitu pasangan ini disahkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Tantangan pertama di depan mata adalah bagaimana menyiasati anggaran negara, yang proses pembahasannya dilakukan pemerintah sebelumnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2015 dalam Sidang Paripurna DPR pada pertengahan Agustus lalu. Dari deretan asumsi makro yang dibuat, rancangan itu cukup merepotkan pemerintah Joko Widodo alias Jokowi.
Tim ekonomi Yudhoyono mematok target defisit anggaran 2015, yaitu 2,3 persen dari produk domestik bruto (PDB), hanya sedikit di bawah APBN 2014 yang diperkirakan 2,4 persen. Artinya, dengan angka defisit sebesar itu, ruang gerak presiden baru hanya tinggal 0,2 persen dari PDB atau hanya Rp 23 triliun. Angka tersebut tentunya bisa "menyandera" karena sulit berharap Jokowi bisa leluasa melaksanakan program kerja perbaikan ekonomi Indonesia. Rencana untuk menyiapkan kartu pintar dan kartu sehat guna membantu masyarakat miskin di bidang pendidikan dan kesehatan harus bisa dilaksanakan dengan anggaran sisa sebesar itu.
Pemerintah juga tak memangkas subsidi bahan bakar minyak. Alokasi subsidi sebesar Rp 364 triliun, atau 26 persen dari total anggaran, bisa menjadi indikasi bahwa pemerintah Yudhoyono tetap ingin mewariskan "penyakit" keuangan negara itu kepada penggantinya. Salah satu petunjuk, anggaran pembangunan infrastruktur justru berkurang menjadi Rp 169 triliun dari Rp 207 triliun, ketika semua pihak merasakan bahwa lambatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi salah satu penyebab utama tidak optimalnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Selayaknya Presiden Yudhoyono melibatkan Tim Transisi yang dibentuk Jokowi dalam pembahasan anggaran negara. Diskusi ini menjadi penting karena, bagaimanapun, seluruh keputusan dalam anggaran itu sepenuhnya akan dijalankan oleh pemerintah baru. Selain itu, harapan akan terciptanya kesinambungan program pembangunan ekonomi bisa terealisasi.
Berat persoalan anggaran yang akan dihadapi mesti disiasati Jokowi dengan memasukkan program kerja ke dalam rencana kerja jangka menengah nasional periode 2015-2019. Dalam jangka pendek, bisa dengan mengajukan anggaran perubahan pada pertengahan tahun depan. Tapi tentunya ikhtiar berkelit dari anggaran yang sulit semestinya dilakukan orang yang memiliki kemampuan teknis.
Walhasil, Jokowi harus memilih orang yang tepat duduk di tim ekonomi dalam kabinet mendatang. Tidak ada lagi waktu coba-coba dengan menempatkan orang yang tidak tepat mengisi jabatan strategis. Tim ekonomi mesti diisi orang-orang yang profesional, berkemampuan, berintegritas, dan siap bekerja keras. Mereka juga harus berani melaksanakan keputusan tidak populis, seperti menaikkan harga BBM.