Kelakuan norak anggota DPRD Mojokerto yang diduga melakukan reses fiktif demi mendapatkan duit tak bisa dianggap sepele. Kejaksaan negeri setempat harus membongkar permainan para anggota Dewan itu.
Peristiwa memalukan itu dilakukan oleh 50 anggota DPRD periode 2009-2014, termasuk ketua, wakil ketua, dan sekretaris DPRD Mojokerto.
Mereka diduga membuat program reses fiktif agar mendapatkan dana reses yang nilainya mencapai Rp 1,5 miliar.
Kejaksaan sudah memanggil mereka, namun belum ada yang menjadi tersangka. Korupsi berjemaah seperti ini mesti segera diusut. Apalagi ini menyangkut 24 anggota DPRD lama yang terpilih lagi untuk periode sekarang. Seminggu yang lalu mereka dilantik, semua dengan wajah semringah seolah tanpa dosa. Kejaksaan semestinya berani segera meningkatkan status mereka dari sebatas saksi menjadi tersangka.
Program reses fiktif telah mewabah di kalangan wakil rakyat. Kata reses diartikan secara salah kaprah oleh sebagian besar anggota DPRD Mojokerto. Bagi mereka, reses bermakna sebagai masa istirahat, masa tenang. Reses dianggap sebagai hak berlibur. Mereka juga merasa berhak mengambil uang reses sebagai imbalan rapat-rapat sidang yang melelahkan, dan menghabiskannya untuk tetirah.
Amat menyedihkan bila anggota DPRD benar-benar masih harus belajar soal reses. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, reses adalah tugas konstitusional. Reses bukanlah acara leha-leha. Pada masa-masa reses itulah undang-undang mengamanatkan para wakil rakyat untuk meninjau pelaksanaan berbagai program di daerah pemilihannya. Masa reses berarti masa turunnya kembali para wakil rakyat ke daerah-daerah pemilihan masing-masing. Mereka bertemu dengan konstituen, mencari masukan, menyerap keluhan-keluhan masyarakat. Negara menyiapkan dana khusus untuk program ini.
Program inilah yang disulap menjadi acara jalan-jalan. Laporan kegiatan reses yang mesti ditulis oleh setiap anggota DPRD pun dimanipulasi. Ada yang bikin proposal fiktif atau laporan kunjungan palsu. Ada juga yang sebenarnya sekadar mampir, lalu dalam laporan pertanggungjawaban disebutkan kunjungan 10 hari. Anggaran konsumsi juga dibengkakkan tak sesuai dengan jumlah peserta. Tanda tangan peserta pertemuan di desa-desa juga kerap dipalsukan. Ini semua karena tidak ada mekanisme kontrol yang baik terhadap program reses.
Program reses fiktif ini bukan cuma monopoli anggota DPRD Mojokerto. Di Provinsi Banten dan Sumatera Barat juga pernah terungkap program reses bodong seperti ini. Pada 2012, misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan membongkar muslihat anggota DPRD Padang yang menghabiskan dana Rp 1,4 miliar. Pelanggaran hukum seperti itu harus dihentikan. Kejaksaan Mojokerto harus menuntaskannya di meja hijau.
Bila memahami betapa seriusnya pelanggaran ini, DPRD seharusnya membuat mekanisme kontrol yang ketat terhadap program reses. Bila perlu, semua laporan reses dipaparkan kepada publik secara transparan sehingga khalayak bisa turut mengawasinya.