Di depan mimbar hakim yang berminyak mukanya, atau di dekat kursi jaksa yang buncit, selalu terbersit pertanyaan itu: keadilan. Di rumah sakit umum tempat pasien tak putus-putusnya menunggu, atau di loket pendaftaran asuransi kesehatan di mana para klerk tak pernah senyum, selalu mengganggu persoalan itu: keadilan.
Atau di ranjang seorang mahasiswa yang tertembak punggungnya. Atau di tungku penjaja gorengan tepi jalan ketika jelantah tua dipanaskan dan orang-orang yang kehujanan datang membeli. Atau di ruang rapat untuk menentukan PHK. Atau di telepon genggam tempat engkau meneriakkan perintah. Atau di tiap persimpangan jalan. Di tempat truk menghela tangki dan anak-anak datang mencuri sekaleng minyak. Di bajaj terguncang yang membawa calon pengantin dari sebuah gang. Di mulut pengamen banci yang menyanyi di depan sopir-sopir yang lelah. Di dalam mal yang memamerkan toko yang tak bertamu. Di mimbar seorang pengkhotbah yang menyerukan rasa benci. Di rumah pelacur yang dijaga centeng dan orang tegap. Di atas kapal ke Sumatra yang sarat, sesak, dan hampir tenggelam. Di kereta api malam yang dilempari batu.
Keadilan menghantui kita, begitu rupa. Ia mungkin satu-satunya pengertian yang tak bisa ditertawakan, pada akhirnya. Tapi betapa sulitnya untuk merumuskan itu secara tetap. Atau justru karena kesulitan itu keadilan pun menemui kita di mana-mana, merisaukan kita, dan kita tak bisa berolok-olok.
Pada suatu hari tahun 1988, seorang pemikir yang juga seorang yang kadang terasa berolok-olok, Jacques Derrida, diundang ke New York dan ia harus berbicara tentang ”dekonstruksi dan kemungkinan keadilan”. Ia mengatakan bahwa apabila hukum bisa ”didekonstruksikan”—kalau tak salah berarti ditafsir, diurai, digugat, diperlihatkan kontradiksi di dalam dirinya—keadilan adalah sebuah perkara lain. Hukum bukan keadilan. Hukum dihasilkan juga oleh kekuatan politik dan ekonomi, merupakan hasil kompromi dan kalkulasi. Hukum juga ditulis sebagai teks dan sebab itu senantiasa merupakan hasil interpretasi. Adapun keadilan tidak.
Seseorang kemudian menulis dalam The New York Review of Books dan mengatakan bahwa apa yang disebut di sana bukan sesuatu yang baru. Tentu saja demikian. Hukum, atau persisnya undang-undang, hanyalah sebuah perkakas yang dibentuk oleh konvensi. Sementara itu, seperti kata Derrida, keadilan ”berada di luar dan di atas hukum”.
Dari mana ia datang, dari mana ia muncul, misalnya ”rasa keadilan” itu—itulah persoalan yang pelik yang tidak mudah dijawab siapa pun, kecuali para ahli agama yang yakin adanya wahyu. Pada zaman ketika wahyu diragukan, bahkan ditampik, ada yang mengatakan bahwa keadilan itu bermula dari akal budi atau alam. Derrida tak menyebutkan wahyu, tak juga menerima alam dan akal budi, dan ia hanya mengatakan: gagasan tentang keadilan adalah ”sebuah pengalaman tentang yang mustahil”, sesuatu yang ada tetapi berada di luar pengalaman. Ia tak bisa dirumuskan. Ia tak dapat ditaklukkan oleh skeptisisme. Ia tak bisa direduksikan. Orang bisa menuduhnya sebagai kegilaan. Barangkali juga pengalaman mistis.
Mungkin itu sebabnya ia datang ke dalam ”perasaan” (atau kesadaran?) kita di mana-mana. Derrida memberi kesan ada sesuatu yang gaib di sini. Bahkan, seraya berbicara tentang kelebihan Marx (dalam sebuah buku yang cukup ruwet, yang dalam bahasa Inggris berjudul The Specters of Marx) ia berbicara tentang kemungkinan ”messianisme tanpa agama”. Di kepala kita pun muncul bayang-bayang Ratu Adil yang tak dikukuhkan oleh Tuhan dan wahyu. Seakan-akan keadilan—karena ia merupakan sebuah pengalaman tentang yang ”mustahil”, karena ia sebuah titik di kaki langit yang semakin kita dekati semakin menjauh—bukan proses politik, yaitu proses pergulatan, konfrontasi, negosiasi, kompromi, dan perumusan-perumusan yang tak pernah memuaskan. Dengan kata lain, seakan-akan keadilan hanya tugas seorang Satria Piningit yang akan memberikan segalanya kepada kita, yakni orang kebanyakan yang daif dan papa. Dan kita cuma pasif menanti.
Tapi keadilan, sesuatu yang selalu luput, memergoki kita di mana-mana. Derrida tak ingin mengolok-olokkannya, tetapi ia mengesankan seakan-akan keadilan bukan tugas sederhana sehari-hari. Apakah yang menyebabkan kita seakan-akan tak berdaya di depan hakim yang berminyak mukanya, di dekat jaksa yang buncit dan pengacara yang bosan? Kenapa kita merasa tak mampu menyelesaikan mata rantai penderitaan orang miskin, yang hanya bisa membeli singkong goreng di sekitar tungku itu ketika jelantah tua dipanaskan, dengan segala penyakit jantung dan kanker yang mengancam?
Ada yang akan mengatakan, dan pada dasarnya benar: kita berada dalam sebuah sistem yang menyisihkan orang miskin. Mereka tak bisa punya banyak pilihan, baik untuk keamanan maupun untuk kesehatan diri. Sebab itulah politik pun dimulai. Sistem hendak diubah atau ditumbangkan.
Namun, kesulitan akhir abad ke-20 ialah bahwa manusia sudah terlampau banyak kecewa dengan pelbagai politik dan proyek utopia, dan Sang Messiah (dengan atau tanpa agama, dengan atau tanpa Derrida) bisa merupakan alternatif yang termudah dan terakhir. Antara putus asa dan hasrat akan sebuah surga di bumi jarak itu dekat sekali.
Tapi ada pilihan lain. Mungkin akhirnya kita harus menampik kedua-duanya. Tanpa putus asa dan kemungkinan surga di bumi, keadilan pun bukan lagi sebuah pengalaman tentang ”yang mustahil”. Keadilan adalah sesuatu yang terungkap dalam laku ketika kita menyimak, setiap hari, setiap kali, adakah seorang lain telah dizalimi.
Goenawan Mohamad