Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pilkada, Momentum Perubahan DPR?

image-profil

image-gnews
Iklan

Wawan Sobari, Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Dinamika politik keputusan partai terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) semakin mengarah ke persetujuan pilkada langsung. Komitmen Partai Demokrat dan PAN mendukung pengesahan kedua Perpu itu setidaknya mengamankan 317 suara (56,6 persen) anggota DPR (2014-2019). Apalagi dalam perkembangan selanjutnya Partai Golkar mengikuti langkah Demokrat dan PAN.

Keputusan partai-partai politik itu bisa menjadi momentum bagi perubahan kinerja dan citra DPR yang kerap menonjolkan konstruksi mitos sebagai lembaga politik. Publik sering kali dipaksa mafhum saat DPR mengedepankan pertimbangan politik dalam menentukan kebijakan. Dominasi nalar politik sebenarnya merupakan paradoks bagi DPR. Karena, sebagai wakil rakyat, yang semestinya menjadi landasan adalah logika representasi. Atau nalar yang memprioritaskan pertimbangan inklusivitas kemanfaatan daripada eksklusivitas kepentingan.

Dengan mengusung label "perwakilan rakyat", DPR mendapat jaminan konstitusional untuk memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Karena menjadi wakil rakyat pula, DPR dibekali fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Maka DPR sejatinya merupakan instrumen perwakilan yang semestinya menginklusifkan aspirasi kemaslahatan umum. Dengan kata lain, DPR seharusnya menggunakan logika representasi ketimbang nalar kontestasi kepentingan kekuasaan dalam pembuatan aturan.

Sebagai konsekuensi penggunaan logika perwakilan, DPR harus mempertimbangkan kapasitas representasinya, bukan sekadar kecakapan berpolitik. Setidaknya, ada empat ukuran keterwakilan, yaitu keadilan, redistribusi, rekognisi, dan konstituensi (Urbinati dan Warren, 2008).

Aspek pertama menyangkut kemampuan DPR memastikan setiap proses kebijakan telah memperlakukan aspirasi rakyat dengan setara dalam setiap butir pasalnya. Kedua, memastikan setiap kebijakan atau anggaran menjadi alat redistribusi sumber daya negara, supaya setiap warga berkesempatan untuk sejahtera. Ketiga, mendorong setiap pengambilan keputusan mempertimbangkan keberagaman sosiokultural masyarakat. Terakhir, memastikan esensi keterwakilan para legislator bukan semata kepanjangan dari kepentingan warga daerah pemilihan, melainkan berfokus pada perjuangan isu-isu prioritas publik, seperti kemiskinan, korupsi, aksesibilitas pelayanan publik, ekonomi, dan lingkungan hidup.

Para legislator sudah seharusnya meninggalkan nalar bias kompetisi politik dan lebih berfokus pada logika representasi dalam menjalankan kekuasaan, fungsi, dan hak-haknya. Mereka bisa berkaca pada opini publik yang sudah keluar dari polarisasi politik setelah Pilpres 2014. Survei LSI Lingkaran dan LSI Lembaga pada Oktober dan November 2014 mengungkapkan opini publik terkini.

LSI Lingkaran menemukan bahwa konstituen partai-partai pendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) sudah berubah dalam menilai kinerja pemerintah Jokowi-JK. Rata-rata 75,64 persen pendukung KIH dan KMP setuju memberi waktu 3-6 bulan untuk menilai kinerja Kabinet Kerja. Sedangkan setelah kenaikan harga BBM, hanya 48,9 persen pendukung KIH dan 43,6 persen pendukung KMP yang puas kan kinerja pemerintah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Temuan LSI Lembaga dan IFES Indonesia mendukung pula bukti perubahan tersebut. Sebanyak 75 persen konstituen Prabowo-Hatta dan 95 persen konstituen Jokowi-JK menyatakan puas dan sangat puas atas pelaksanaan Pilpres 2014. Maknanya, DPR perlu belajar dari publik yang lebih obyektif menilai kinerja dan kebijakan pemerintah. Publik telah menanggalkan atribut-atribut perbedaan afiliasi politik setelah Pilpres 2014.

Konsekuensi terburuk bila logika representasi tidak dijadikan fondasi dalam pengambilan keputusan oleh para wakil rakyat adalah menguatnya praktek oligarki dan patronasi politik. Indikasinya, pembuatan kebijakan lebih merepresentasikan kepentingan sekelompok elite dan pendukung, padahal mereka dipilih secara demokratis.

Karena itu, perubahan dukungan partai politik terhadap pilkada langsung semestinya menjadi momentum transformasi paradigma DPR yang selama ini bertumpu pada hakikat prosedural otoritasnya (legislasi, penganggaran, dan pengawasan). DPR mestinya berubah mengedepankan hakikat substantif (representasi) dalam menjalankan kekuasaan dan fungsinya.

Salah satu upaya untuk mereduksi kontrol nalar politik dan sebaliknya meningkatkan kapasitas representasi DPR, yakni melalui penataan sistem kepartaian. Meski masih jauh dari ideal, munculnya faksi politik, seperti KIH dan KMP, di parlemen bisa menjadi modal terbangunnya sistem dua partai yang programatik.

Koalisi bisa menjadi wadah berkelompok bagi partai-partai politik karena kesamaan posisi kebijakan dalam merespons masalah-masalah makro negara. Misalnya, masing-masing kubu politik berbeda posisi kebijakan dalam menilai persoalan alokasi subsidi pemerintah, meski tujuannya sama-sama untuk kesejahteraan rakyat. Perdebatan seperti itu lebih berguna untuk meningkatkan kualitas keputusan DPR daripada memperdebatkan argumen kebijakan demi eksistensi politik koalisi. *


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

22 Agustus 2016

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Dana Pengawasan Pilkada 2015 di 27 Daerah Masih Bermasalah  

Bawaslu telah meminta Mendagri Tjahjo Kumolo untuk memfasilitasi penyelesaian permasalahan dana hibah pengawasan pilkada 2015.


KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

12 Juli 2016

Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Kantor KPU ini memutuskan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay menjadi pelaksana tugas (Plt) Ketua KPU menggantikan Husni Kamal Manik yang tutup usia pada Kamis (07/07). TEMPO/Aditia Noviansyah
KPU Susun Opsi Verifikasi Dukungan Calon Perseorangan  

Hadar bakal meminta bantuan Direktorat Pendudukan dan Catatan Sipil memastikan keberadaan pendukung calon perseorangan.


Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

29 Juni 2016

ANTARA/Wahyu Putro A
Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada  

KPK melakukan penelitian dengan mewawancarai 286 calon yang kalah pada pilkada. Ini temuannya.


Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

19 Juni 2016

TEMPO/Arif Fadillah
Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna Diwarnai Keributan  

Polisi mengevakuasi anggota KPUD Muna keluar dari TPS sambil melepaskan tiga tembakan ke udara.


Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

19 Juni 2016

TEMPO/Arif Fadillah
Hari Ini Pemungutan Suara Ulang Pilkada Kabupaten Muna  

Ini merupakan pemungutan suara ulang yang kedua kali akibat saling gugat dua pasangan calon kepala daerah.


Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

6 Juni 2016

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad. ANTARA/Hafidz Mubarak A
Revisi UU Pilkada, Bawaslu Kini Bisa Periksa Politik Uang  

Bawaslu kini bisa memeriksa kasus politik uang dalam pilkada.


Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

6 Juni 2016

Sineas Indonesia Garin Nugroho. ANTARA/Teresia May
Syarat Calon Perorangan Dipersulit, Ini Kata Pendukung Garin  

Pendukung Garin menilai seharusnya DPR sebagai wakil rakyat membuat aturan yang lebih bermutu.


Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

5 Juni 2016

Ilustrasi Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Disahkannya UU Pilkada Dinilai Memicu Potensi Konflik  

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menilai, ada persoalan yang akan terjadi seusai DPR mengesahkan UU Pilkada.


Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

2 Juni 2016

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI Jazuli Juwaini bersiap memimpin Rapat Pleno Fraksi PKS di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 11 April 2016. TEMPO/Dhemas Reviyanto
Undang-Undang Pilkada Akhirnya Disahkan, Ini Reaksi PKS  

PKS sebelumnya menilai anggota DPR yang maju ke pilkada tak perlu mundur dari keanggotaan di Dewan, melainkan hanya perlu cuti.


DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

2 Juni 2016

Ilustrasi Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
DPR Sahkan Undang-Undang Pilkada

DPR akhirnya mengesahkan undang-undang tentang pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dalam sidang paripurna hari ini.