Chandra Budi
Bekerja di Ditjen Pajak, Alumnus Pascasarjana IPB
Wacana pengampunan pajak (tax amnesty) sempat menghangat kembali dalam seminggu terakhir ini. Pengampunan pajak diyakini mampu menambah penerimaan pajak cukup besar secara cepat. Sebab, selama ini masih banyak wajib pajak yang belum membayar pajak dengan benar. Sementara itu, pelaksana tugas Dirjen Pajak Mardiasmo mengatakan penerapan pengampunan pajak harus melibatkan penegak hukum seperti KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Sebab, bisa saja penghasilan yang akan diberikan pengampunan pajak tersebut justru merupakan hasil tindak pidana. Yang pasti, penerapan pengampunan pajak di Indonesia harus dikaji secara mendalam, menimbang antara hasil positif dan efek negatif yang akan diperoleh kelak.
Indonesia pernah menjalankan dua versi pengampunan pajak. Pertama, pada 1984 dengan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak. Dalam aturan ini, semua jenis pajak pada masa itu-termasuk pajak kekayaan-dapat diberi pengampunan pajak dengan tebusan sebesar 1 persen dari jumlah kekayaan. Hal inilah yang menjadi dasar perhitungan pajak yang dimintakan pengampunan untuk wajib pajak yang telah memasukkan surat pemberitahuan (SPT). Atau, jumlahnya sebesar 10 persen dari jumlah kekayaan yang menjadi dasar perhitungan pajak yang dimintakan pengampunan untuk wajib pajak yang belum memasukkan SPT-nya. Hebatnya, dalam Keppres tersebut juga diatur bahwa WP yang telah diberi pengampunan pajak akan dibebaskan dari pengusutan pajak dan laporan kekayaannya-yang disampaikan dalam rangka pengampunan pajak-tidak dapat dijadikan dasar penyidikan dan penuntutan pidana dalam bentuk apapun.
Pengampunan pajak versi kedua, dikenal dengan istilah sunset policy. Sunset policy adalah kebijakan pemberian fasilitas perpajakan yang berlaku hanya pada 2008, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga. Kebijakan sunset policy diatur dalam Pasal 37A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sayangnya, kebijakan sunset policy ini kurang berdampak maksimal, di mana hanya berhasil menyumbang tambahan pajak sekitar Rp 8 triliun atau kurang dari 2 persen dari penerimaan total pajak 2008.
Alasan utama Direktorat Jenderal Pajak membutuhkan kebijakan pengampunan pajak adalah masih minimnya ketersediaan data dalam mendukung pengalian potensi pajak selama ini. Demikian juga, pemanfaatan data rekening nasabah bank untuk kepentingan pajak yang lebih luas akan terbentur pasal kerahasiaan bank. Karena itu, wajar, apabila Ditjen Pajak mencari cara lain yang tidak biasa untuk menggenjot penerimaan pajak. Kebijakan pengampunan pajak diharapkan mampu meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
Namun, kekhawatirannya, jangan sampai wajib pajak yang telah diberikan pengampunan pajak justru mendapatkan pengakuan legal secara hukum atas semua kekayaannya, termasuk dari hasil kejahatan. Walaupun memang, menurut UU, semua penghasilan dari semua sumber dapat dikenai pajak. Tapi tidak berarti penghasilan yang diperoleh dari tindak pidana yang telah dikenai pajak akan bebas dari penegakan hukum pidana lainnya-sebagaimana pernah ada dalam Keppres 26 Tahun 1984.