Mardiyah Chamim, wartawan Tempo
Sebelum pagi 26 Desember 2004, dunia tak punya gambaran tentang betapa dahsyatnya tsunami. Ombak laut ternyata bisa menjulang sampai ketinggian 30 meter, lalu hanya dalam waktu setengah jam jatuh menggebrak daratan. Hampir segala kehidupan dalam ratusan kilometer sepanjang pesisir Aceh dan Nias tersapu.
Hari-hari itu berita di surat kabar dan televisi berkembang lambat. Jalur komunikasi macet. Publik bertanya-tanya seburuk apa dampak gempa tektonik 9,1 dalam skala Richter yang disusul tsunami pada pagi itu. Indonesia memang pernah mengalami tsunami, yakni di Flores pada 12 Desember 1992, dengan korban setidaknya 2.000 jiwa. Namun, yang terjadi di pesisir Aceh-Nias jumlah korbannya berpuluh kali lipat dibanding tsunami di Flores itu.
Pada 6 Januari 2005, dua minggu setelah tsunami, saya bersama tim sukarelawan Tempo berangkat ke Banda Aceh. Saat menjejakkan kaki di Banda Aceh itulah, baru terasa hawa amukan tsunami. Sepanjang mata memandang, segalanya porak-poranda. Akar-akar pohon kelapa tercerabut, rumah, gedung, pasar, penjara, kapal, dan orang-orang bagaikan mainan kanak-kanak yang rapuh.
Habis kata-kata ketika menyaksikan kerusakan yang begitu masif. Mayat-mayat bergelimpangan di jalan, menguarkan aroma sangit. Di beberapa sudut, misalnya di Pasar Peunayong, Ulee Lheu, dan seputar lapangan Blang Padang, mayat yang terserak amat banyak; terseret arus sampai puluhan kilometer dari lokasi awal mereka tersapu air bah.
Tatapan kosong, jejeran kantong mayat, dan jerit ban truk pengangkut mayat adalah pemandangan sepanjang hari. Malam hari, di tengah tenda pengungsian, suara tangis berpadu dengan kesiur angin. Tak seorang pun sanggup menggambarkan aroma duka, kengerian, sekaligus takjub pada hari-hari itu. Dalam percakapan dengan sesama wartawan yang berkumpul di Pendopo Gubernuran Aceh, fotografer kelas dunia, James Nacthwey, berkata, "Yang kita saksikan hari ini hanyalah satu titik. Liputan jurnalistik, foto-foto yang kita ambil, tak akan sanggup menggambarkan yang sebenarnya terjadi di Aceh, mendekati pun tidak."
Berapa persisnya jiwa yang lumat di sepanjang pesisir Aceh adalah kepingan teka-teki tak terjawab: 100 ribu, 120 ribu, 170 ribu, 250 ribu jiwa, entahlah mana yang benar. Mantan Gubernur NAD Irwandi Yusuf pernah menunjukkan adanya penyusutan jumlah penduduk sampai 400 ribu jiwa setelah tsunami. Tak penting benar mana data yang benar. Sebab, yang terjadi jauh lebih dalam dari sekadar kematian massal. "Sejarah Mati di Kampung Kami," begitu judul tulisan Nezar Patria di majalah Tempo, mengenang kampung halamannya yang tersapu air bah.
Sukarelawan datang dari segala bangsa: Amerika, Cina, Jerman, Prancis, Armenia, Turki, Arab, Israel, semuanya ada. Para dermawan kemanusiaan ini datang dari segala usia. Saya ingat bertemu remaja belasan tahun, pelajar SMP dari Denpasar, yang datang ke Banda Aceh, sebagai sukarelawan. Tak seorang pun mempermasalahkan agama dan etnis orang lain. Tak soal juga bila ada sukarelawan perempuan yang tak berkerudung. Bahu-membahu orang-orang dari segala bangsa membangun jembatan, membuat pipa air, menyalurkan pangan dan obat-obatan.
Tsunami memaksa banyak pihak untuk bersikap rendah hati dan tidak sok pintar. Di tengah wilayah yang porak-poranda, suasana kebingungan tampak di berbagai level. Lembaga swadaya dan lembaga donor kerap tak tahu harus memulai bekerja dari mana. Tak jarang ada bantuan yang tak tepat dengan karakter wilayah. Misalnya, sebuah negara Timur Tengah memberi bantuan perahu nelayan yang prototipenya dibuat di perairan Sulawesi. Sayangnya, ratusan unit perahu bantuan itu tak cocok dengan watak laut di Aceh dan terbengkalai. Saat mengangkat persoalan ini di sebuah forum, kemudian utusan dari negara tersebut memanggil saya dan berkata, "Bayangkan, betapa terlukanya warga negara kami yang sudah mengumpulkan dana untuk ratusan perahu bantuan itu." Oh, semestinya hal ini dia pikirkan sebelum membuat prototipe bantuan di Sulawesi.
Hambalang ombak tsunami juga yang memaksa semua pihak yang bertikai puluhan tahun di Aceh untuk menundukkan kepala. Tanpa tsunami, tak mungkin GAM dan TNI membuhul tali perdamaian di Helsinki, pada Agustus 2005. Perdamaian sama sekali tak terbayang sebelumnya.
Selama setahun lebih, saya berkesempatan mondar-mandir Aceh-Jakarta. Menyaksikan masyarakat Aceh bertumbuh, dengan pergulatan yang tak mudah tentunya, tak sedikit pula pihak yang menunggangi gelombang besar bantuan dana untuk kepentingan diri mereka sendiri. Saya menuliskan dinamika ini dalam buku yang judulnya mengadaptasi kalimat Nezar: Sejarah Tumbuh di Kampung Kami.
Sungguh, semua itu pengalaman yang tak ternilai. Pada akhirnya, bukan saya yang memberi bantuan, tapi saya yang tumbuh dan belajar banyak hal.
Kini, satu dasawarsa kemudian, kita mengenang Aceh. Bukan dengan penyesalan, melainkan dengan kenangan yang selalu hidup. Tentang betapa rapuhnya manusia dan peradaban yang dibangunnya, sekaligus tentang betapa kuat kemanusiaan yang bisa kita tenun bersama. Kemanusiaan tak dibatasi etnis dan keyakinan. Salam hormat dan tunduk kepala untuk 100 ribu, 150 ribu, 170 ribu, atau 400 ribu jiwa yang melayang bersama tsunami di Aceh-Nias.