Pemerintah harus tancap gas dalam mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS. Jumlah pengidap semakin banyak. Sebaliknya, kampanye tentang penyakit maut ini semakin redup. Kampanye harus kembali digalakkan untuk menyadarkan betapa berbahayanya virus penggerogot kekebalan tubuh yang belum ada obatnya itu. Pemerintah pun mesti menjalankan program secara konsisten dan berkesinambungan.
Pemerintah tak bisa sendirian mengatasi virus maut ini. Kerja sama dengan kelompok-kelompok dan tokoh masyarakat perlu ditingkatkan. Prioritas anggaran pun perlu diubah. Selama ini, mayoritas anggaran masih dialokasikan untuk pencegahan HIV/AIDS. Pencegahan perlu, tapi harus seimbang dengan anggaran untuk merawat mereka yang sudah terjangkit. Hal itu lantaran jumlah pengidap tergolong besar. Hingga Maret lalu, angkanya sudah mencapai 188 ribu orang.
Besarnya jumlah pengidap itu juga akan menjadi ujian bagi presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sektor kesehatan adalah salah satu program prioritas dalam kampanye mereka. Menangani HIV/AIDS akan menjadi ujian apakah program Kartu Indonesia Sehat yang diunggulkan Jokowi-Kalla akan efektif.
Gerakan melawan penyebaran HIV/AIDS mutlak diperlukan karena masyarakat seolah tak peduli lagi seiring dengan melemahnya sosialisasi belakangan ini. Penyebaran virus bahkan sudah merambah pedesaan. Ini, misalnya, terjadi di Cianjur, Jawa Barat. Pada tahun ini saja, di tempat itu ditemukan 73 pengidap baru terinfeksi.
Cianjur hanya salah satu contoh. Sebab, di tingkat nasional, faktanya lebih mencemaskan. Menurut The Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) 2014, jumlah orang terinfeksi HIV di Indonesia meningkat 48 persen sejak 2005. Ironisnya, peningkatan justru terjadi di tengah penurunan jumlah pengidap di kawasan Asia-Pasifik sebesar 27 persen dan 38 persen secara global.
Tak ada salahnya pemerintah berkaca dari negara lain. Di Malaysia, ada kewajiban bagi pasangan yang akan menikah untuk bebas HIV/AIDS. Di Thailand, para pekerja seks mensyaratkan penggunaan kondom bagi para pelanggannya. Pro-kontra memang akan muncul. Namun pemerintah mesti tegas dan konsisten demi melindungi publik yang lebih luas.
Kebijakan sebaik apa pun tak akan berjalan tanpa sosialisasi. Tokoh-tokoh publik mesti diyakinkan betapa pentingnya mengkampanyekan gerakan melawan AIDS, sehingga tak ada lagi perdebatan di luar koridor kesehatan. Peran orang tua dan pendidik juga mesti ditingkatkan. Sosialisasi bahaya HIV/AIDS lebih diarahkan kepada siswa sejak dini mengingat korban terbesar adalah usia muda, berkisar 20-39 tahun. Kesadaran masyarakat akan memunculkan kepedulian dan tanggung jawab sosial, sehingga pencegahan dan penanggulangan bisa efektif.
Penyadaran dilakukan terutama terhadap mereka yang terjangkit agar tak malu berobat, termasuk menginformasikan kepada petugas kesehatan jika mengetahui anggota keluarga diduga tertular. Hanya dengan kampanye yang terus-menerus, penyadaran untuk melawan AIDS bisa membuahkan hasil.