Ditangkapnya dua anggota Polri lantaran diduga menjadi pengedar sabu-sabu di Malaysia seharusnya menjadi alarm bahaya bagi Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Sutarman. Kasus ini sekali lagi membuktikan betapa buruk dan lemahnya pengawasan di lingkup internal Polri.
Ini menambah panjang daftar perwira polisi nakal yang tersandung kasus narkoba. Sabtu lalu, Ajun Komisaris Besar Polisi Idha Endi Franstyono dan Brigadir Harahap dicokok di sebuah hotel di Kuching, Sarawak, Malaysia. Polis Diraja Malaysia punya bukti bahwa Idha memiliki koneksi dengan bandar narkoba. Polisi Malaysia mengendus kedua perwira polisi ini sebagai sindikat mafia narkoba Malaysia-Indonesia-Filipina. Ini merupakan pengembangan atas tertangkapnya seorang tersangka pengedar narkoba di bandara Kuala Lumpur, Malaysia.
Sungguh aneh kepolisian bisa kecolongan soal Idha. Polisi itu sudah masuk dalam daftar polisi hitam. Pada 2013, Idha dimutasikan gara-gara kasus penghilangan barang bukti narkotik di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Ia juga kerap meninggalkan markas tanpa izin. Pekan lalu, ia mangkir dari tugas dan ditangkap Polis Diraja Malaysia. Menurut Pasal 39B Undang-Undang Antinarkotika Malaysia, Idha dan Harahap terancam hukuman gantung.
Sangat disayangkan tak ada tindakan tegas yang diambil Kepala Polri Sutarman. Penjelasannya soal Idha dan Harahap sangat cekak, bahkan terkesan ingin melindungi Idha dan Harahap. Sutarman semestinya justru berterima kasih kepada Polis Diraja Malaysia dan bekerja sama membongkar sindikat narkoba. Selama ini banyak narkoba jenis baru di Indonesia yang masuk dari Malaysia.
Kasus Idha dan Harahap seharusnya melecut Sutarman untuk bekerja keras membersihkan Polri. Khalayak saat ini melihat fenomena polisi "berdagang" narkoba, dan kasus seperti ini sudah menjadi hal yang jamak. Sebelum Idha dan Harahap, sudah banyak kasus serupa. Beberapa pekan lalu, misalnya, di Bandung, terbongkar dua perwira anggota kepolisian kedapatan menerima suap lebih dari Rp 6,5 miliar dari tiga pelaku judi online. Pada 2010, juga ditemukan adanya rekening gendut oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Kritik membangun, seperti yang dilontarkan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Adrianus Meliala bahwa divisi reserse kriminal ibarat ATM polisi, malah dianggap sebagai penghinaan. Alih-alih berusaha membuktikan dan menelusuri kritik tersebut, kepolisian malah mempidanakan Adrianus.
Tak perlulah Kapolri berusaha membela mati-matian institusi yang dipimpinnya jika memang terbukti terjadi penyimpangan. Kritik sepedas apa pun semestinya diterima dengan lapang dada. Bila kasus hitam terus berulang, sulit bagi orang untuk tidak melihat dengan sinis terhadap salah satu lembaga penegak hukum di Tanah Air ini. Polisi perlu belajar dari penyelenggara negara lain yang sigap memecat anak buah nakal pada bulan-bulan pertama mereka masuk kantor.