Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin semestinya segera membatalkan pembebasan bersyarat Siti Hartati Murdaya. Keputusan yang dikeluarkan pada akhir Agustus itu tidak hanya menabrak ketentuan pemerintah, tapi juga diskriminatif.
Pembebasan terpidana kasus suap lahan perkebunan di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, itu amat dipaksakan. Pasal 43A Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 jelas menyebutkan bahwa pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus khusus, seperti korupsi dan terorisme, bisa diberikan bila memenuhi empat ketentuan sekaligus. Salah satunya, menjadi justice collaborator.
Hartati, yang divonis 2 tahun 8 bulan penjara, tak pernah ditetapkan sebagai justice collaborator. Jangankan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar korupsi, selama persidangan ia malah selalu menyangkal telah menyuap Bupati Buol Amran Abdullah Batalipu. Padahal ia terbukti menyetujui pemberian uang Rp 3 miliar kepada Amran untuk pengurusan hak guna usaha lahan perkebunan sawit.
Komisi Pemberantasan Korupsi juga telah mengeluarkan surat pada pertengahan Juli tahun lalu yang menyebut Hartati sama sekali tak memenuhi syarat sebagai justice collaborator. Dengan dasar ini saja, sebenarnya sudah cukup bagi Kementerian untuk bisa mengurungkan pemberian bebas bersyarat. Apalagi KPK kemudian menolak memberi rekomendasi pembebasan bersyarat pada 12 Agustus lalu.
Hartati memang telah menjalani dua pertiga masa hukumannya. Ditahan sejak September 2012, ia telah menghuni penjara selama 22 bulan atau dua pertiga dari masa pidananya. Tapi syarat masa hukuman ini tak bisa berdiri sendiri. Kementerian Hukum tak bisa membebaskan Hartati hanya karena ia dianggap berkelakuan baik, membayar denda, dan memenuhi dua pertiga masa hukuman.
Keempat syarat yang tercantum dalam peraturan pemerintah itu bersifat kumulatif. Alangkah aneh jika kemudian Menteri Amir justru menyatakan pembebasan bersyarat itu semestinya tidak kumulatif. Dengan memakai logika Amir, apakah mungkin ia akan membebaskan narapidana yang mau menjadi justice collaborator, berkelakuan baik, tapi baru menjalani hukuman beberapa bulan saja?
Logika timpang ini disambung dengan argumen lain yang terkesan semata demi mengesahkan keputusan bebas bersyarat. Menggunakan pasal 43B, Kementerian berdalih memiliki kewenangan memutuskan pembebasan bersyarat bila penegak hukum terkait tak merespons surat permintaan rekomendasi dalam 12 hari. Mereka menyatakan telah menyurati KPK pada akhir Juni tapi baru dibalas Agustus. Argumen ini tak masuk akal. Bagaimana mungkin soal waktu yang tak seberapa itu bisa otomatis menggugurkan empat syarat utama?
Seluruh pembelaan itu justru menegaskan ada sesuatu yang tak beres di balik pembebasan Hartati. Keputusan ini juga diskriminatif terhadap terpidana kasus korupsi lain yang jauh lebih kooperatif dibanding Hartati tapi tak mendapat keringanan hukuman.