Industri penerbangan Indonesia bakal kolaps jika pemerintah tak turun tangan. Sudah setahun lebih sektor ini megap-megap. Penyebabnya banyak. Salah satunya, merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Akibatnya, biaya produksi membengkak. Padahal, 85 persen biaya operasional berpatokan pada dolar. Ini masih diperburuk oleh harga bahan bakar pesawat yang tinggi, di atas US$ 120 per barel, atau sekitar Rp 10 ribu per liter.
Tak mengherankan, akibat kondisi kritis itu, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Indonesia (INACA) pekan lalu menuntut komitmen serius pemerintah. Menurut mereka, sejumlah persoalan krusial yang menimpa anggota asosiasinya berpotensi mengganggu kelangsungan bisnis. Pemerintah bisa membantu dengan membuat kebijakan yang utuh, tidak sektoral, demi merangsang iklim usaha. Pembenahan tersebut penting karena birokrasi yang dihadapi INACA untuk mengurus bea masuk komponen pesawat begitu rumit.
Untuk permohonan pembebasan bea masuk 300 jenis komponen pesawat, misalnya, INACA harus datang ke Kementerian Perhubungan. Barang-barang yang mayoritas buatan AS dan Eropa tersebut saat ini terkena bea masuk 5-7 persen. Di Kementerian Perhubungan, yang disetujui hanya 27 jenis komponen. Selanjutnya, mereka harus ke Kementerian Perindustrian, yang juga cuma menyetujui empat jenis komponen. Di sini tentu urusan belum selesai. Mereka masih harus mengajukan permohonan ke Kementerian Keuangan.
Kerumitan seperti itu tak terjadi di Malaysia, Singapura, atau Thailand. Di sana, pemerintah membebaskan bea masuk komponen pesawat untuk mendukung industri penerbangan.
Terpuruknya bisnis penerbangan nasional sudah terlihat sejak bangkrutnya beberapa maskapai. Mandala Airlines, misalnya, berhenti beroperasi per 12 Januari 2011. Setahun lebih mati suri, Mandala sempat bangkit setelah investor baru-Tigerair Singapura dan Saratoga milik Sandiaga Uno-menyuntikkan dana segar. Tapi itu hanya bertahan dua tahun. Tigerair Mandala kemudian mengumumkan penghentian seluruh kegiatan operasional mulai 1 Juli 2014. Penyebabnya, antara lain, depresiasi rupiah yang melambungkan biaya operasional.
Kisah serupa terjadi pada Batavia Air yang kolaps pada Januari 2013. Bahkan maskapai pelat merah Garuda Indonesia pun berdarah-darah. Sepanjang semester pertama tahun ini, Garuda merugi US$ 211,7 juta atau sekitar Rp 2,43 triliun. Kerugian tersebut dipicu oleh melemahnya ekonomi dunia, kenaikan harga bahan bakar, dan depresiasi nilai tukar rupiah yang mencapai 20 persen.
Lesunya bisnis penerbangan ini tak boleh dibiarkan. Pada 2015 ASEAN Open Sky Policy resmi berlaku. Artinya, maskapai asing bebas terbang di negara-negara anggota ASEAN. Bagi yang telah siap, seperti Singapura, liberalisasi seperti ini justru ditunggu-tunggu. Sebaliknya, yang belum siap akan menjadi "penonton".
Itulah alasan kenapa pemerintah mesti bergerak cepat. Dukungan kebijakan, seperti insentif atau kemudahan fiskal, harus diulurkan. Jangan menunggu industri penerbangan nasional kian terpuruk.