Politikus Senayan seharusnya mengkaji lagi rencana meniadakan pemilihan langsung kepala daerah. Pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mungkin akan sedikit menghemat biaya. Tapi mudaratnya jauh lebih besar dibanding pemilihan langsung.
Rencana yang bakal dituangkan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah itu disokong oleh partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih. Dalam pemilihan presiden yang lalu, mereka mendukung pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Manuver baru itu bisa memunculkan oligarki politik yang berbahaya. Koalisi Merah Putih akan "menguasai" hampir semua wilayah bila kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Penghapusan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) juga akan membuat DPRD sangat berkuasa. Mereka menentukan peraturan daerah dan anggaran daerah, serta bisa mendikte kepala daerah. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang tak setuju dengan gagasan ini, bahkan mengatakan kepala daerah bisa menjadi sapi perah DPRD.
Kekhawatiran itu tidak mengada-ada, karena bupati atau gubernur akan lebih takut kepada DPRD ketimbang kepada rakyat. Akibatnya, aspirasi rakyat akan terabaikan. Kekuasaan bukan lagi di tangan rakyat, melainkan sepenuhnya di tangan partai-partai yang menguasai DPRD.
Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat semestinya mempertimbangkan kemungkinan buruk itu. Pada akhir masa kerjanya, mereka tak perlu memaksakan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pilkada. Apalagi gagasan penghapusan pilkada langsung tidaklah sejalan dengan naskah akademik RUU tersebut. Naskah akademik hanya merekomendasikan penghapusan pilkada di provinsi.
Penghapusan pemilihan gubernur secara langsung masih masuk akal. Selama ini gubernur seakan tidak memiliki rakyat. Yang berhubungan langsung dengan rakyat adalah bupati dan wali kota. Jika pilkada untuk gubernur dihapus, ia bisa ditempatkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Dalih bahwa penghapusan semua pilkada akan menghemat biaya mungkin ada benarnya. Tapi tidak seharusnya proses demokrasi selalu diukur dengan uang. Keliru pula alasan bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD serta-merta menghapus suap politik. Praktek membayar tiket pencalonan kepala daerah kepada partai politik boleh jadi akan tetap berlangsung. Calon kepala daerah mungkin pula harus menyogok anggota DPRD agar terpilih.
Pembagian duit kepada masyarakat terjadi pula dalam pilkada langsung. Tapi tidak semua calon kepala daerah bermain kotor. Yang jelas, pilkada memberi peluang bagi calon yang berkualitas tapi tidak didukung koalisi partai politik yang kuat untuk ikut bertarung, bahkan bisa memenangi pilkada.
Kalangan partai politik semestinya berupaya memperbaiki kelemahan pilkada langsung, bukannya menghapus begitu saja demi kepentingan mereka sendiri.