USULAN agar pemerintah menghentikan sementara kegiatan penerbangan sipil di Bandara Internasional Juanda untuk perayaan ulang tahun ke-69 TNI selayaknya dikaji ulang. Seremoni itu penting, tapi seharusnya tidak mengganggu kepentingan publik dalam waktu lama.
Rencana Markas Besar TNI mengadakan pesta perayaan ulang tahun ke-69 TNI secara besar-besaran tak bisa sepenuhnya disalahkan. Acara yang digelar di Dermaga Ujung, Surabaya, itu akan melibatkan Bandara Juanda sebagai tempat manuver pesawat tempur dan lahan parkir pesawat. Dalam proposal yang diajukan, ada 219 pesawat militer bakal datang dan parkir di Terminal 1 dan 2 Juanda, yang hingga saat ini masih milik TNI Angkatan Udara.
Dengan rencana pesta ulang tahun seheboh itu, jelas penerbangan komersial bakal terganggu. Juanda merupakan salah satu bandara teramai di Indonesia. Bandara ini bukan cuma tujuan akhir, tapi juga merupakan penghubung 20 bandara lain. Bisa dibayangkan efek domino dari penutupan Bandara Juanda.
Tiap hari, menurut data yang dilansir Asosiasi Maskapai Nasional, setiap satu jam ada sekitar 300 pesawat yang terbang dan mendarat di kawasan Sidoarjo itu. Jika bandara ini ditutup selama lima hari seperti diusulkan TNI--pada 1-4 Oktober dan 7 Oktober 2014 dari pukul 07.00 sampai 15.00 WIB-sekitar 1.000 penerbangan akan dibatalkan. Ratusan ribu penumpang bakal marah karena penerbangan mereka terganggu.
Rencana pesta ulang tahun TNI itu mesti ditinjau ulang. Imbauan Presiden agar perayaan ulang tahun TNI tak menghambat roda perekonomian perlu dijabarkan dalam tindakan nyata.
Kisruh pemakaian bandara seperti yang terjadi di Juanda itu seharusnya membuat pemerintah berpikir ulang bahwa sudah saatnya pemerintah menata kembali posisi bandara komersial. Selama ini banyak bandara komersial menumpang "kos" di pangkalan militer. Selain Juanda, bandara lain yang bernasib serupa adalah Adi Sutjipto (Yogyakarta) dan Abdul Rahman Saleh (Malang). Dengan industri penerbangan yang tumbuh pesat seperti sekarang, sulit mengawinkan bandara dengan pangkalan udara militer.
Selama ini publik sering mengeluh jadwal penerbangan komersial sering terganggu karena tengah digelar latihan militer di bandara yang masih menjadi pangkalan angkatan udara. Pesawat harus antre dengan berputar-putar di udara, menunggu jadwal latihan pesawat tempur selesai.
Pemerintah harus berani membuat terobosan dengan membangun bandara komersial terpisah dari pangkalan militer, seperti yang terjadi pada Bandara Kuala Namu di Medan, yang terpisah dari Pangkalan Udara Polonia.
Paket memindahkan bandara seharusnya menjadi prioritas pemerintah baru Joko Widodo dan Jusuf Kalla, karena anggaran proyek 62 bandara baru ini sudah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato Keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang APBN Tahun 2015 di gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Proyek ini tak boleh ditunda. Alasannya, TNI memerlukan pangkalan udara untuk mengembangkan kualitas tempur prajuritnya. Masyarakat sipil pun butuh bandara komersial yang nyaman dan bisa menggerakkan denyut perekonomian.