Maryanto, Pemerhati Politik Bahasa
Kemauan politik untuk merevolusi mental bangsa sesungguhnya cukup gamblang disuratkan dalam Kurikulum 2013. Dengan menempatkan bahasa (Indonesia) sebagai penghela pelajaran, revolusi mental sudah dicanangkan untuk berproses melalui pendidikan yang lebih baik. Dari mana mental akan terbentuk kalau tidak berawal dari bahasa? Fungsi bahasa yang paling dasar (tidak bisa digantikan oleh sarana komunikasi yang lain) adalah untuk mengembangkan akal budi.
Adalah Sudaryanto, seorang linguis Indonesia, yang sudah lama mempelopori penerapan teori dwifungsi bahasa: untuk mengembangkan akal budi dan untuk membina kerja sama agar menjadi sesama. Untuk menjadikan sesama bangsa Indonesia-ingat teks Sumpah Pemuda 1928-ihwal bahasa Indonesia diikrarkan secara khusus pada butir ketiga untuk mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang dicita-citakan (baca kembali: "Dari Sumpah Pemuda ke Sumpah Presiden" dalam Koran Tempo, 28 Oktober 2014).
Pendidikan sekolah-melalui formulasi Kurikulum 2006 (KTSP) dan kurikulum sebelumnya)-dirancang dengan sangat mengabaikan peran bahasa Indonesia dalam pembentukan mental bangsa. Publik tentu masih segar mengingat betapa bahasa Indonesia makin terkebiri perannya dalam SBI dan sekolah yang dirintis berstandar (bahasa) internasional. Secara umum, pendidikan belum berhasil mencetak anak-anak Indonesia menjadi sesama orang Indonesia.
Flo K. Sapto W. dalam tulisan "Bahasa dan Kekerasan" (Koran tempo, 24 November 2014) secara sangat spesifik bertanya: "Apakah bahasa Indonesia dengan demikian gagal menjadi bahasa penjaga perdamaian dan pilar peradaban?" Pertanyaan praktisi pemasaran itu bertolak dari berbagai peristiwa konflik anak bangsa-baik individual maupun komunal-dengan pemicu berupa adu mulut yang sama-sama bertutur kata bahasa Indonesia.
Memang sangat mencengangkan kalau di lingkungan sekolah saja terjadi tawuran antar-pelajar. Di luar sekolah, ada tawuran antar-kesatuan angkatan bersenjata milik negara. Di panggung politik pun dipertontonkan meja bergelimpangan. Tampak cuma-cuma nilai angka lulus bahasa Indonesia yang mereka peroleh dari guru sekolahnya. Tidak hanya penilaian, tapi juga proses pembelajaran bahasa Indonesia, yang masih bermasalah dalam pembentukan mental bangsa.
Kegiatan belajar bahasa Indonesia di sekolah tidak cukup dipandang hanya untuk berkomunikasi lisan dan tulisan. Sesuai dengan fungsi dasarnya, bahasa Indonesia mestinya dipelajari untuk mengenali jati diri atau akal budi orang Indonesia. Orang yang tidak patuh berbahasa Indonesia jelas-jelas menodai jati diri atau akal budi sendiri. Hasil pembelajaran bahasa Indonesia saat ini belum mencapai derajat penghormatan atas jati diri atau akal budi.
Selain kasus kekerasan yang menjurus ke disintegrasi bangsa, maraknya kasus kejahatan korupsi-biasanya dibuktikan dengan berkas laporan (keuangan) bodong atau bohong-merupakan buntut dari pembelajaran bahasa Indonesia yang tidak pernah berorientasi pada pengembangan akal budi. Perkataan bohong seperti dalam laporan fiktif itu bukanlah hakikat produk bahasa karena si pembohong-berdasarkan teori linguistik Sudaryanto-sedang semena-mena menggunakan bahasa.
Kurikulum 2013 sudah menyuratkan ikhtiar nyata dalam pembentukan mental bangsa dengan perubahan kebijakan untuk mengintegrasikan mata pelajaran di sekolah dasar. Bagi anak, kepentingannya sangat sederhana: tidak membawa beban (secara fisik dan psikis) yang melebihi jangkauan kemampuannya. Satu pelajaran bahasa Indonesia mampu menghela pelajaran (ilmu) pengetahuan sosial dan alam. Pelajaran akan terasa ringan tanpa mengurangi muatan. Untuk itu, bahasa Indonesia mulai dilembagakan melalui keberagaman bahasa daerah.
Di desa su ada listrik. Beta deng tamang su dapa belajar pada malam hari untuk bikin tugas skolah. Pas katong balajar sama-sama, listrik mati. Katong bingung karena galap deng seng dapa belajar lai. Katong kasi manyala lilin untuk ganti listrik. Katong dapa balajar kombali deng dapa kasih abis tugas.
Dengan Kurikulum 2013, unsur bahasa daerah seperti bahasa anak Ambon itu diberi ruang masuk dalam rumusan kompetensi berbahasa Indonesia (baca: Permendikbud No. 67 Tahun 2013 tentang Kurikulum SD). Untuk anak kelas II SD, telah dicanangkan pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks naratif dalam kemasan tematik terpadu. Misalnya, tema hidup rukun sesama teman melalui kegiatan kerja kelompok. Tema pelajaran itu dibangun guru bersama anak dengan memanfaatkan kekayaan kosakata bahasa daerah.
Revolusi mental bangsa diakui berawal dari bahasa dan mental anak bangsa Indonesia dibentuk paling awal melalui bahasa daerah. Sejauh pengamatan terhadap buku tematik SD, pemerintah belum sempat mewujudkan pemanfaatan kekayaan bahasa daerah untuk mendukung bahasa Indonesia guna membentuk mental anak bangsa. Guru juga belum sempat membaca baik-baik kebijakan Kurikulum 2013.
Tak perlulah merombak total kebijakan itu. Bongkar-pasang kebijakan, selain boros biaya, akan mengakibatkan bahasa Indonesia kembali sulit melembaga di sekolah. *