Khudori, anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-sekarang)
Duet Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla sepertinya belum bisa sepenuhnya melepaskan diri dari langgam pendahulunya: Presiden SBY. Dalam hal pangan, seperti SBY, Jokowi-JK mematok target swasembada sejumlah komoditas. Target ambisius ditetapkan: swasembada beras, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun. Swasembada gula dan daging ditargetkan tercapai dalam lima tahun. Tidak ada yang salah dengan target-target itu. Dengan target, akan ada ukuran capaian kinerja, langkah-langkah juga akan lebih fokus. Masalahnya, bagaimana cara mencapai target itu? Strategi apa yang bakal ditempuh?
Jokowi-JK berjanji menempatkan sektor pertanian pada posisi penting guna mengembalikan kedaulatan pangan. Hal ini ditempuh lewat sejumlah langkah: membagikan 9 juta hektare lahan ke petani, menambah kepemilikan lahan dari 0,3 ha menjadi 2 ha per keluarga petani, perbaikan irigasi di 3 juta ha sawah, membangun 25 bendungan, mencetak 1 juta ha sawah baru dan 1 juta ha lahan pertanian kering baru di luar Jawa-Bali, mendirikan bank pertanian, mendorong industri pengolahan, serta membangun 1.000 desa berdaulat benih dan 1.000 desa go organic. Rencana ini bagus karena, realitasnya, produksi pangan stagnan.
Menurut BPS, produksi padi pada 2014 mencapai 69,9 juta ton gabah, turun 2 persen dari 71,3 juta ton pada 2013. Angka ini setara dengan 40 juta ton beras (angka konversi 0,57 persen). Jika angka konsumsi beras 113,48 kg per kapita per tahun, total konsumsi 253 juta penduduk adalah sekitar 29 juta ton. Artinya, kita seharusnya surplus beras 10 juta ton. Kenyataannya, tiap tahun masih ada impor beras. Produksi jagung pada 2014 mencapai 18,6 juta ton jagung pipilan kering, meningkat 40 ribu ton dari 2013. Swasembada jagung bisa dicapai jika pemerintah konsisten mengeksekusi semua kebijakan insentif peningkatan produksi dan produktivitas. Produksi kedelai pada 2014 ialah 921 ribu ton, terus menurun dengan laju 4,2 persen per tahun. Modal sosial sistem usaha tani kedelai yang rusak mempersulit swasembada.
Kinerja tiga komoditas pangan pokok dan strategis itu tidak mengalami perbaikan lantaran basis produksi tidak membaik, baik dalam hal lahan maupun inovasi teknologi produksi. Menambah lahan baru, memperbaiki infrastruktur irigasi, membangun bendungan, dan introduksi teknologi adalah keniscayaan. Berpuluh-puluh tahun lahan pangan tidak bertambah. Justru sawah-sawah subur dan beririgasi teknis diuruk dan "ditanami" beton, baik untuk jalan, rumah, maupun pabrik. Karena tidak ada tambahan lahan, empat komoditas berebut di lahan yang itu-itu juga. Berpuluh-puluh tahun tidak ada pembangunan bendungan dan irigasi baru. Irigasi warisan Orde Baru bahkan tidak terpelihara dengan baik. Saat ini sekitar 52 persen infrastruktur irigasi rusak, baik ringan maupun berat. Inovasi teknologi produksi juga tidak berkembang lantaran anggaran riset amat terbatas.
Membuka lahan baru dan memperbaiki/membangun infrastruktur irigasi perlu waktu dan butuh anggaran besar. Demikian pula riset intensif untuk menemukan aneka varietas berproduksi tinggi. Administrasi pertanahan yang kusut membuat perluasan lahan pangan tak mudah dilakukan. Di atas kertas, potensi ekstensifikasi bisa dilakukan di puluhan juta hektare lahan. Namun, di lapangan, tak sepenuhnya clear. Kebutuhan anggaran yang besar juga tidak memungkinkan memperbaiki/membangun irigasi dalam satu tahun anggaran. Uraian singkat ini bermakna: tidak mudah mencapai target swasembada.
Tidak banyak disadari, Jawa masih menjadi pulau penyumbang produksi pangan terbesar negeri ini. Peran Jawa dalam produksi padi, jagung, kedelai, dan gula masing-masing adalah sebesar 52,6 persen, 54,5 persen, 66,9 persen, dan 67,4 persen dari produksi nasional. Ketika dihadapkan pada kondisi lapangan yang sulit dan desakan pencapaian target, birokrasi akan senantiasa "menggarap" daratan Jawa, Madura, dan Bali yang relatif matang. Dominasi peran Jawa bisa dipastikan membuat birokrat tidak berani mengambil keputusan drastis, misalnya menggeser basis produksi pangan dari Jawa ke luar Jawa. Keputusan ini amat berisiko.
Dengan konfigurasi seperti itu, ketika terdesak oleh target-target swasembada, diperkirakan menteri Kabinet Kerja Jokowi yang berurusan dengan pangan akan terjebak dalam pragmatisme pencapaian-pencapaian jangka pendek. Bagi mereka, yang paling realistis adalah mempertahankan lahan-lahan subur di Jawa, dan sebisa mungkin mencegah konversi. Pada saat yang sama, ekstensifikasi di luar Jawa bisa digenjot. Dengan cara ini, target swasembada ada kemungkinan bisa dicapai dan kursi menteri aman.
Masalahnya, pragmatisme jangka pendek ini tidak memberikan fondasi apa pun bagi pembangunan pertanian di masa depan. Berbeda apabila Kabinet Kerja Jokowi memilih memperkuat dan membangun fondasi kemandirian serta kedaulatan pangan. Cara ini dilakukan dengan membuat langkah-langkah gradual memperbesar kepemilikan lahan petani, menggeser basis produksi ke luar Jawa, membangun infrastruktur (irigasi, dam, bendungan, dan jalan) yang memadai, dan menggelar riset-riset intensif untuk merakit pelbagai inovasi. Cuma, risikonya, swasembada tak tercapai dan kursi menteri melayang. *