Joko Riyanto, alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
Saat memberikan kuliah umum di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, beberapa hari yang lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan Indonesia telah memasuki level darurat narkotik. Menurut Jokowi, sebanyak 40 sampai 50 orang di Indonesia mati setiap harinya akibat penyalahgunaan narkotik. Jokowi pun secara tegas menolak permohonan grasi 64 terpidana mati gembong narkotik. Keputusan Jokowi ini layak kita dukung dan acungi jempol, sebagai bentuk perang melawan kejahatan narkotik.
Keputusan Jokowi ini ditentang aktivis pegiat hak asasi manusia. Menurut mereka, hukuman mati bukan cara yang tepat untuk menghukum gembong narkotik, karena belum tentu membuat mereka jera. Sebaliknya, presiden berpotensi melanggar HAM. Menurut saya, keputusan Jokowi itu tidak melanggar HAM. Sebab, hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkotik telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1988, yang ditandai dengan terbitnya UU Nomor 7 Tahun 1997. Konvensi yang melabeli kejahatan perdagangan obat, narkotik, dan bahan psikotropika sebagai kejahatan serius menyatakan dalam Pasal 3 Ayat (6) bahwa pemerintah harus memastikan pengenaan sanksi yang maksimum.
Vonis mati terhadap kejahatan narkotik tidak melanggar HAM, karena kejahatan narkotik adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan narkotik itu sungguh mengerikan, jauh lebih berbahaya ketimbang terorisme. Sementara terorisme dapat membunuh satu atau sekelompok orang, narkotik mampu membunuh satu generasi dan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa, bahkan sebuah peradaban. Sedangkan para korban narkotik itu sendiri juga punya hak untuk hidup sehat tanpa harus digerogoti barang haram tersebut.
Narkotik memang sudah menjadi ancaman sangat berbahaya bagi Indonesia, dan kejahatan narkotik telah memperburuk citra Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Badan Narkotika Nasional (BNN) mencatat, hingga 2013 lalu, lebih dari 4,5 juta orang berada dalam proses rehabilitasi, tapi yang 1,2 juta sudah tidak bisa direhabilitasi karena sudah sangat parah. Sebanyak 3,2 juta penduduk di Indonesia menyalahgunakan narkotik dan 15 ribu orang mati sia-sia setiap tahun atau 40 orang setiap hari. Penolakan grasi terpidana narkotik oleh Jokowi adalah bukti nyata bahwa pemerintah tak berkompromi dalam pemberantasan narkotik.
Narkotik telah menjadi musuh bersama yang harus diberantas tuntas. Presiden Jokowi diharapkan bersikap lebih tegas, konsisten, dan berani dalam pemberantasan narkotik. Hukum, sebagai puncak piramida perlawanan, sangat dituntut untuk mampu memberikan peran dalam menciptakan efek jera (shock therapy). Melihat dampak buruk kejahatan narkotik bagi generasi muda dan bangsa ini, maka hukuman tegas, keras, dan tidak pandang bulu, bahkan hukuman mati, layak dijatuhkan kepada terpidana narkotik, terutama produsen (pabrik), bandar (gembong), pengedar, dan pengguna narkotik.
Contohlah negara tetangga, Malaysia dan Singapura, yang dengan tegas menghukum penyelundup atau pengkonsumsi (walau hanya 5 gram) narkotik dengan hukuman mati. Wujudkan Indonesia Bebas Narkotik 2015. *