Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Akhir 2014 ini setidaknya menyiratkan dua momen yang penting bagi bangsa ini: perayaan antikorupsi dan rezim pemerintahan baru. Setumpuk harapan publik terhadap pemberantasan korupsi telah ditumpangkan di biduk yang dinakhodai Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kita mungkin perlu merenung tentang gerakan antikorupsi yang genderangnya ditabuh oleh rezim reformasi. Enam belas tahun sudah berlalu (1998-2014), tapi korupsi masih saja menjadi keseharian kita. Tiada sehari pun kita lewati tanpa pemberitaan tentang berbagai kasus korupsi.
Mungkin kita bisa meringis ketika para pelaku korupsi itu adalah mereka yang memiliki hubungan suami-istri, kakak-adik, orang tua-anak, atau minimal memiliki hubungan kekerabatan yang sama. Ini fakta hukum dan fakta sosial yang tidak bisa dihindari, di mana korupsi memang telah menjadi candu bagi kalangan mana pun.
Pada 2014, corruption perception index (CPI) yang dirilis Transparency International (TI) memberikan skor 34 kepada Indonesia. Dibanding pada 2012 dan 2013, ada kenaikan 2 poin dari skor sebelumnya (32).
Namun jika menggunakan dua variabel, yaitu rentang indeks yang sangat besar 0-100 dan rerata (average) perolehan skor di seluruh negara yang disurvei, kenaikan itu tidaklah signifikan. Faktanya, perolehan skor 34 itu masih menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia (dari rerata 43).
Perolehan skor ini adalah jerih payah rezim pemerintah SBY. Ironis memang, ketika rezim ini justru yang paling "rajin" mengeluarkan kebijakan antikorupsi. Salah satu yang teranyar adalah Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang 2012-2025 dan Jangka Menengah 2012-2014. Selain itu, ada begitu banyak instruksi presiden antikorupsi, bahkan beberapa khusus ditujukan untuk kasus korupsi di sektor tertentu (pajak).
Jika dikaitkan dengan penegakan hukum, beberapa menteri pada masa SBY justru menjadi pelaku korupsi. Artinya, kebijakan antikorupsi bahkan tidak mampu mempengaruhi tabiat korup di lingkaran utama kekuasaan. Mungkin benar apa yang disebut oleh Lord Acton, bahwa kekuasaan memang selalu bertendensi korup.
Mungkin benar apa yang Syed Hussein Alatas pernah sebutkan dalam Sosiologi Korupsi (1981), bahwa korupsi akan tumbuh subur dalam lingkungan yang korup. Apakah korupsi di lingkungan pemerintahan, birokrasi, partai politik, parlemen, polisi, institusi peradilan, dan seterusnya mencerminkan kondisi masyarakat kita?
Indeks apa pun sebetulnya tidak bisa dijadikan ukuran tunggal untuk mengukur sejauh mana kinerja negara dalam memberantas korupsi. Apalagi jika hanya diukur dari segi komitmen di atas kertas atau dalam hal memproduksi kebijakan.
Jika dihitung, mungkin akan sangat banyak institusi/lembaga yang mencanangkan gerakan antikorupsi. Tapi, sejauh mana kesepakatan itu diterjemahkan di dalam aksi yang lebih konkret, dilaksanakan, dan apa dampaknya?
Apakah program antikorupsi di bidang pelayanan publik membuat pelayanan publik tersebut menjadi lebih baik? Atau jika menggunakan konteks penindakan/penegakan hukum, apakah jumlah pelaku korupsi yang dijebloskan ke penjara akan berdampak pada jumlah kejahatan korupsi, atau minimal jumlah kerugian negara akibat kejahatan korupsi bisa dikembalikan?
Jika diibaratkan perang, perang melawan korupsi saat ini telah dinakhodai oleh Presiden Jokowi. Jika menggunakan alibi konstitusional, jabatan presiden sesungguhnya didaulat bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tapi juga kepala negara.
Presiden sudah dihidangkan banyak sekali menu antikorupsi, misalnya Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi (Perpres 55 Tahun 2012), Undang- Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU 14 Tahun 2008), dan regulasi lain yang menunjang pemberantasan korupsi. Surplus regulasi di bidang antikorupsi sebetulnya sudah lebih dari cukup untuk memaksa seluruh lembaga/institusi negara untuk turut serta dalam gerakan antikorupsi.
Sebagai contoh kecil yang mungkin bisa berdampak besar, bagaimana Presiden Jokowi bisa menggunakan rezim keterbukaan yang sudah dijamin undang-undang untuk memaksa seluruh daerah/institusi/lembaga negara mempublikasikan anggarannya. Ini akan menjadi langkah awal yang sangat baik untuk mendorong inisiatif-inisiatif antikorupsi lainnya.
Pentingnya rezim keterbukaan ini adalah agar seluruh pihak bisa ikut serta dalam gerakan antikorupsi. Jika ini tidak dilakukan, gerakan antikorupsi akan kembali dibajak oleh sebagian elite yang memonopoli informasi (anggaran). Mungkin dulu kita lelah berada di bawah kekangan Orde Baru selama hampir 32 tahun, sehingga terjadi peralihan rezim. Namun, apa mau dikata, setelah rezim beralih dan hampir berumur 16 tahun, korupsi masih saja menjadi momok.