Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Intoleransi pada Era Jokowi

image-profil

image-gnews
Iklan

Alamsyah M. Dja'far, Peneliti the Wahid Institute

Dalam dua bulan masa kepemimpinannya, mungkin terlalu cepat meminta Presiden Jokowi membuktikan janji kampanyenya untuk mengatasi kasus-kasus intoleransi. Selain kasus-kasus yang tak selesai pada masa pemerintahan sebelumnya, Jokowi menghadapi kasus-kasus baru pada awal era kekuasaannya. Ini pekerjaan rumah yang pelik sekaligus membutuhkan keberanian.

Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan the Wahid Institute Tahun 2014, yang dirilis baru-baru ini, mencatat dalam dua bulan (November-Desember) masa pemerintahan Jokowi, terdapat 14 peristiwa pelanggaran yang melibatkan aktor negara, dan 10 peristiwa melibatkan aktor non-negara. Contohnya, intimidasi massa intoleran dan larangan Satpol PP terhadap jemaat GKI Yasmin Bogor untuk beribadah. Di Ibu Kota, pelantikan Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama ditolak dan menjadi korban penyebaran kebencian (hate speech).

Intoleransi diartikan sebagai setiap perbedaan, pengecualian, pembatasan, atau preferensi berdasarkan agama atau kepercayaan dan yang mempunyai tujuan atau membawa akibat hilang atau rusaknya pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi dan kebebasan atas dasar yang setara. Bentuk tindakan intoleransi beraneka ragam, dari kekerasan dalam bahasa dan perkataan seperti bullying, penyesatan, diskriminasi lewat regulasi, pengusiran (expulsion), hingga destruksi.

Intoleransi jelas melanggar kebebasan sebagai hak dasar. Dalam soal hak dasar ini, negara punya tiga kewajiban utama yang mesti ditunaikan agar kebebasan tersebut tetap terjaga: menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), dan melindungi (to protect). Inilah tiga alat ukur melihat pro-tidaknya sebuah pemerintah terhadap prinsip kebebasan beragama.

Jika membaca "Visi Misi, dan Program Aksi Jokowi-Jusuf Kalla 2014", sebagian besar publik menaruh harapan besar bahwa kepemimpinan baru ini bakal melunasi-meminjam judul laporan the Wahid Institute-"utang" warisan pemerintah sebelumnya dalam kasus-kasus intoleransi. Hanya, harapan ini tentu masih harus dibuktikan. Setidaknya, kita mencatat, sejauh ini belum kita dengar Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan langsung, setidaknya untuk nasib pengungsi Ahmadiyah, pengungsi Syiah Sampang, atau jemaat gereja-geraja yang disegel pemerintah.

Ada banyak langkah ideal dalam visi-misi yang populer disebut Nawacita ini. Misalnya menempatkan intoleransi sebagai masalah pokok bangsa ketiga setelah merosotnya kewibawaan negara dan melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional. Intoleransi ditulis dalam alinea keenam dari 41 halaman visi-misi ini. Penempatan redaksional semacam itu jelas hendak menunjukkan bobot pesan. "Jati diri bangsa terkoyak oleh merebaknya konflik sektarian dan berbagai bentuk intoleransi. Negara abai dalam menghormati dan mengelola keragaman dan perbedaan yang menjadi karakter Indonesia sebagai bangsa yang majemuk." Begitu bunyi salah satu kutipan dalam alenia keenam ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Untuk mengatasi kasus-kasus intoleransi, ada sejumlah langkah yang menjadi janji Jokowi-JK. Salah satunya adalah "menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan, termasuk perempuan, anak, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas." Meski tak menyatakan langsung kelompok minoritas, istilah ini jelas merujuk pula pada kelompok minoritas agama/keyakinan seperti agama-agama di luar yang enam dan sekte minoritas. Minoritas ini dipahami bukan semata-mata merujuk jumlah-seperti banyak disalahpahami. Minoritas juga sangat berkaitan dengan "relasi kekuasaan" yang dimiliki. Bisa jadi jumlahnya kecil, namun punya kekuasaan besar atau sebaliknya. Jadi, tidak mengherankan muslim minoritas-yang di level nasional merupakan mayoritas-di sejumlah daerah justru menjadi korban intoleransi. Misalnya kasus siswa muslimah salah satu sekolah di Bali yang dilarang mengenakan jilbab dan panitia masjid di Batuplat NTT yang sulit mendapat izin. Jadi, intoleransi bukan masalah agama tertentu, tapi semua agama.

Di tingkat nasional masih ada peraturan perundang-undangan yang diskriminatif. Korban pada umumnya kelompok minoritas. UU PNPS 1965, UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan masih menggunakan istilah "agama yang belum diakui". Peraturan Bersama No 9 Tahun 2006 yang mengatur Pendirian Rumah Ibadah juga menjadi contohnya.

Sementara itu, di tingkat lokal, ratusan perda diskriminatif dan peraturan kepala daerah yang diskriminatif hingga saat ini juga belum dicabut atau direvisi. Kajian Komnas Perempuan, misalnya, mencatat 342 kebijakan diskriminatif lahir sepanjang 2013. Hasil kajian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat terdapat 15 peraturan kepala daerah yang melarang aktivitas jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Meski akan mendapat tentangan, langkah Jokowi-JK yang jika sesegera mungkin "menghapus regulasi yang berpotensi melanggar HAM kelompok rentan" itu pasti akan menjadi langkah terobosan di tengah kebekuan yang ada. Hal ini akan membedakannya dengan pemerintah sebelumnya. *


Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Taliban Segera Umumkan Pemerintahan Baru di Afghanistan, Siapa Saja?

2 September 2021

Seorang pendukung Imarah Islam Afghanistan mengibarkan bendera Taliban di Kabul, Afghanistan, 1 September 2021. WANA (West Asia News Agency) via REUTERS
Taliban Segera Umumkan Pemerintahan Baru di Afghanistan, Siapa Saja?

Taliban sedang bersiap mengumumkan pemerintahan baru Afghanistan. Siapa saja yang akan menjadi pejabat?


Wagub Uu Ajak ICMI Bangun Jabar

30 November 2019

Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum,  menghadiri Silahturahmi Kerja Wilayah (Silakwil) Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Wilayah (Orwil) Jabar di Grand Inna Samudra Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Kabupaten  Sukabumi, Sabtu, 30 November 2019.
Wagub Uu Ajak ICMI Bangun Jabar

Prioritas pembangunan Pemprov Jabar saat ini adalah mengurangi kesenjangan di masyarakat.


Ingin Selamat dari Perang Dunia III? Pindahlah ke Negara Ini

11 Oktober 2017

Himalaya, Kerajaan Bhutan disebut sebagai salah satu negara paling indah. Awalnya wilayah ini hanya sebagai mitos, karena sangat sedikit yang mengetahui tempat ini. Pada tahun 1972, Raja Jigme Singye Wangchuck membuka wilayah ini untuk wisatawan, 10 Febru
Ingin Selamat dari Perang Dunia III? Pindahlah ke Negara Ini

Konflik Amerika Serikat dan Korea Utara dalam beberapa bulan terakhir ini memicu kekhawatiran terjadinya Perang Dunia III.


Din Syamsuddin Sebut Konsep Khilafah Digaungkan HTI Salah Kaprah

23 Agustus 2017

Ketua MUI Din Syamsuddin bersama dua Wakil Ketua Nazarrudin Umar (kanan) dan Didin Hafiduddin (kiri). TEMPO/Imam Sukamto
Din Syamsuddin Sebut Konsep Khilafah Digaungkan HTI Salah Kaprah

Sebab, kata Din Syamsuddin, Indonesia telah menjalankan konsep khilafah dengan mengamalkan nilai-nilai keislaman.


Menteri Penerima Opini Disclaimer dari BPK Bakal Kena Sanksi

24 Mei 2017

Wapres Jusuf Kalla dalam jumpa pers di rumah dinas di Jalan Diponegoro, Selasa, 23 Mei 2017. Dalam kesematan ini, JK menjawab sejumlah pertanyaan seperti isu keretakan hubungan dengam Presiden Jokowi dan berita-berita hoax. Tempo/ Amirullah Suhada
Menteri Penerima Opini Disclaimer dari BPK Bakal Kena Sanksi

Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, pengelolaan anggaran kementerian atau lembaga pemerintahan dari BPK harus baik di tahun depan.


2,5 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Publik Merasa Puas 64,4 Persen

22 Maret 2017

Presiden Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla saat memimpin Sidang Kabinet Kerja di Kantor Presiden, Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, 27 Oktober 2014. Sidang ini merupakan sidang perdana Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK. TEMPO/Subekti.
2,5 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK, Publik Merasa Puas 64,4 Persen

Lembaga Indo Barometer merilis hasil survei menyangkut evaluasi publik terhadap 2,5 tahun pemerintahan Jokowi-JK, tingkat kepuasan publik 64,4 persen.


Agus Pambagio: Komunikasi Pemerintah ke Publik Masih Buruk  

2 Februari 2017

Agus Pambagio. dok.TEMPO
Agus Pambagio: Komunikasi Pemerintah ke Publik Masih Buruk  

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengungkapkan masih belum berjalannya komunikasi publik yang baik dari pemerintah Presiden Joko Widodo.


Jokowi dan Pimpinan MPR Bahas UU MD3 Hingga Haluan Negara

24 Januari 2017

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Ketua MPR Zulkifli Hasan saat menyaksikan teater kebangsaan Tripikala: Tertawa Bersama Megawati dalam perayaan ulang tahun ke-70 Megawati Soekarnoputri di Teater Jakarta, TIM, Jakarta, 23 Januari 2017. TEMPO/Imam Sukamto
Jokowi dan Pimpinan MPR Bahas UU MD3 Hingga Haluan Negara

Jokowi dan Pimpinan MPR menggelar rapat konsultasi yang membahas UU MD3, Haluan Negara, 2 peringatan hari besar, dan Lembaga Pemantapan Pancasila.


Rayakan Dua Tahun Jokowi-Kalla, Fadli Zon Bikin Puisi

22 Oktober 2016

Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla saat tiba di Kompleks Istana Kepresidenan untuk mengumumkan perombakan kabinet atau reshuffle jilid II, Jakarta, 27 Juli 2016. Dalam reshuffle jilid II ini, Jokowi memberhentikan 9 menteri. TEMPO/Aditia Noviansyah
Rayakan Dua Tahun Jokowi-Kalla, Fadli Zon Bikin Puisi

Fadli Zon mengatakan ini puisi dua tahun Jokowi-JK ini spontan dibuat di ponselnya.


Wiranto Panggil Sejumlah Menteri ke Kantornya, untuk Apa?  

13 September 2016

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto usai pertemuan terkait antisipasi kerawanan Pilkada, di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta, 30 Agustus 2016. TEMPO/Yohanes Paskalis
Wiranto Panggil Sejumlah Menteri ke Kantornya, untuk Apa?  

Yang hadir dalam rapat koordinasi itu adalah anggota Tim Crisis Center pemerintah RI. Anggota tim yang belum tampak adalah Kepala BIN Budi Gunawan.